When We're Dreaming Part 1

Assalamualaikum Wr. Wb.

Hai hai semua. Lama nggak nge-post cerita di blog ini. Sebenarnya ini cerita sudah ku tulis agak lama dan juga udah ku post di blog ku satunya. :)

Tapi, berhubung pingin ngisi sesuatu di rumah kesayangan saya ini. Alhasil ini lah yang terbesit di otakku untuk ku posting  #halah..

Langsung sajaa =>

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


1 : “2021”
~~~
                Yogyakarta, 17 Desember 2021
                Sepasang langkah kaki berpijak di atas jalanan setapak sebuah taman. Kota Jogja, di penghujung  tahun 2021, sebuah cerita akan kembali tersambung setelah sebelumnya nyaris tamat dengan akhir yang menggantung. Pemilik langkah kaki itu mulai melangkah. Tak mengindahkan sama sekali angin yang sedari tadi bertiup mencoba menghancurkan tatanan rambutnya. Ia terus melangkah menyusuri deretan pohon akasia yang daunnya basah akibat musim hujan yang berlangsung belakangan ini.

                Tetesan air hujan yang tertinggal di dedaunan sesekali terjatuh akibat tiupan angin, justru membuat langkahnya semakin dramatis. Seorang gadis yang dengan sengaja mengurai rambut panjangnya dan menghentikan langkahnya sembari menutup mata dengan bau hujan yang tersirkulasi sempurna di indera penciumannya. Ia tersenyum simpul, dan semburat kemerahan muncul di kedua pipi pucatnya, menandakan hari itu ia sedang berbahagia.
                Tiba-tiba gadis itu membuka kedua matanya. Ia mendongak dan menatap pada langit sore yang tertutupi awan kelabu. Mata sipitnya tampak berbinar, sedang bibirnya masih menyunggingkan senyum yang sama. Dari yang terlihat, nampaknya ia berumur sekitar pertengahan 20-an. Berkisar antara 24-27 tahun, dengan setelan kasual sweater rajutan kuning gading, celana jins, flat shoes, dan tas punggung berwarna kelabu, ia sudah siap melanjutkan kembali kisahnya yang tertunda.
                Sebuah kisah klasik tentang persahabatan, cinta, angan, harapan, mimpi, dan segala hal yang telah terjadi di masa lalu. Kisah yang terangkai seperti puzzle, kita tak pernah tahu bagaimana proses terbuatnya kepingan itu. Yang kita tahu, selalu ada lebih dari satu keping untuk merangkai sebuah puzzle. Seperti kisah ini, akan ada banyak cerita yang merangkainya.
Gadis itu, Dira Nataliya, bukan satu-satunya pemeran utama dalam kisah ini.
~~~
“Sebuah kisah tidak akan menjadi dramatis tanpa ada kisah sampingan yang menyertainya. Seperti dongeng Snow White, tak akan menarik tanpa ada kisah cinta antara ibu tiri dengan ayah sang putri.
 Dan cerita ini bisa jadi akan  sangat sederhana jika hanya menceritakan satu kisah.”
-Dira Nataliya-
~~~
Lagu Separuh Aku milik Noah yang pernah popular sekitar 8 tahun yang lalu terdengar memenuhi seluruh ruangan sebuah restoran keluarga. Dira duduk di sebuah meja besar di pojok ruangan sambil menatap keluar jendela. Dengan berpangku tangan, matanya tak lepas dari setiap gerak-gerik orang yang berlalu lalang di luar sana. Itu menarik, daripada menghabiskan waktu menatap jarum jam tangannya yang terus berdetik tanpa ada tanda-tanda kedatangan orang-orang yang ditunggunya.
sebuah pemandangan di luar sana sedikit menarik perhatian Dira. Ia memincingkan kedua matanya, berharap hal itu dapat menimbulkan kekuatan yang bisa membuat matanya memiliki kemampuan untuk men-zoom benda jauh. Sedetik kemudian ia tersadar, ia tak perlu kemampuan itu untuk bisa menebak siapa gadis yang berlari tergopoh-gopoh dengan wajah cemas menyebrangi zebra cross dan mencoba menyalip orang-orang dengan tubuh mungilnya.
Gadis itu Tya, tentu saja.
Ia mengenakan hoodie berwarna abu-abu tua dan kaos hitam di baliknya juga celana jins panjang dan sepatu sneakers hijau army yang terpasang di kedua kakinya dengan tali yang tidak terikat sempurna. Dengan rambut kemerahannya yang dipotong pendek, sama sekali tak berubah dari 8 tahun lalu, kecuali kenyataan bahwa ia pernah mencoba memanjangkannya sekali dan berhenti hanya sampai sepundak. Dan itu pun selalu diselingi dengan keluhan bahwa lehernya terasa panas. Dira tersenyum seketika mengingat tingkah laku gadis aneh itu dulu. Mengenang masa lalu memang salah satu khayalan paling menyenangkan ketika ia tak bisa lagi kembali ke masa itu.
Beberapa saat kemudian gadis berambut pendek itu sudah berdiri di depan Dira dengan nafas ngos-ngosan dan senyum lebar yang menampakkan deretan gigi putihnya. Ia menarik kursi dan duduk di depan Dira dengan sekali gerakan. Dengan sedikit terbatuk ia menunjuk gelas berisi cairan merah yang terhidang di depan Dira. Tanpa komando, Dira mendekatkan gelas itu kea rah gadis di hadapannya dan mempersilahkannya untuk meludeskan isi di dalamnya. dan dalam beberapa teguk, Tya sudah mengosongkan gelas berisi minuman rasa cocopandan itu.
“Maaf, telat. Tadi aku ketiduran.” Ujarnya setelah tegukkan terakhirnya. Ia memperlihatkan wajah memelas dengan ekspresi yang membuat Dira sedikit bergidik ngeri. Bagaimana tidak, di usianya yang sudah masuk kepala dua itu ia masih suka berwajah sok imut yang berlebihan dan membuat siapapun yang melihatnya ingin mengeluarkan isi perut mereka detik itu juga.
“Ah, Tya. Hentikan berwajah seperti itu!” seru Dira dengan nada yang sedikit ditinggikan namun kemudian ia tertawa, sudah lewat beberapa waktu semenjak terakhir ia melihat  ekspresi seperti itu di wajah sahabatnya. Sedikit banyak ia merindukannya, terlebih gadis itu termasuk mood maker dalam hari-hari yang ia lalui bersama teman-temannya dulu. Kemudian ia teringat sesuatu, dimana yang lain? Orang-orang yang memiliki posisi tak kalah pentingnya dengan gadis aneh di depannya. Dimana mereka sekarang?
“Aku mungkin tak semuda dulu, namun aku masih orang yang sama, bukan? Apa salahnya melakukan kebiasaan di masa lalu. Meski raga ini tak bisa kembali seperti dulu, maka biarkanlah tingkah laku yang menjadi pengingat bahwa kita pernah menjadi seperti ini. Muda dan penuh gairah.”
-Tya Gunawan-
Tya terlihat sedikit sibuk dengan buku menu di tangannya, beberapa kali terlihat dahinya berkerut, memperlihatkan dengan jelas bahwa ia kebingungan dengan makanan yang ingin di pesannya. Kemudian ia tersenyum puas ketika menemukan satu nama masakan di lembar terakhir buku menu. Gado-gado. Makanan yang sepanjang masa menjadi list paling atas makanan favoritnya. Tanpa banyak basa-basi, ia segera memesannya.
Tak berapa lama kemudian, Tya mulai menikmati pesanannya sambil sesekali bercanda ringan dengan satu-satunya orang di meja itu, Dira. Mereka tertawa kecil dan saling melontarkan joke-joke seperti yang sering mereka lakukan di masa lalu. Tiba-tiba sebuah Tas merk Gucci berwarna peach diletakkan di atas meja, menginterupsi obrolan yang terjalin antara Tya dan Dira. Keduanya menoleh, menatap pada pemilik tas. Ia melepas kacamata hitam besarnya dan melipatnya. Sepasang mata bulat dengan bola mata kecoklatan terlihat berbalik menatap pada kedua gadis itu.
Selanjutnya ketiganya saling tersenyum, menyadari bahwa satu orang lagi telah hadir. Gadis berambut hitam panjang itu duduk di samping Dira dan mengikat rambutnya membentuk sanggul. Setelan celana kain berwarna tanah dan blazer berwarna senada –sama sekali bukan style gadis itu-  memperlihatkan bahwa gadis ini baru pulang dari kegiatan formal.
                “Biar kutebak, kamu pasti baru pulang kerja.” Kata Tya yang menghentikan kegiatan makannya untuk sementara demi menyambut kedatangan salah satu sahabatnya ini. Gadis yang menjadi objek itu hanya tersenyum manis dengan senyuman khasnya dan megangguk. Dari wajahnya terpancar kelelahan yang sedikit melampaui batas namun sama sekali tak menutupi aura kecantikan yang dimiliknya. Ia menghela nafas panjang kemudian mulai membuka mulut, “Seharusnya hari ini aku libur, tapi tadi ada sedikit urusan mendadak yang harus kuurus.. Jadi maaf kalau terlambat. Bukan mauku.”
“Kayaknya kamu sibuk banget, ya?” Tanya Dira retoris. Namun tak ayal ia merasa sangat kagum dan bangga sahabatnya satu ini sudah berhasil meraih cita-citanya. Gadis itu tersenyum, ia menahan nafasnya sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, “Setidaknya aku masih lebih baik daripada yang terlambat karena ketiduran.” Ujarnya tenang. Seketika kalimat itu membuat Tya yang sedang minum terbatuk, ia menyemburkan sedikit sisa-sisa air yang ada di mulutnya. Dengan sedikit usaha ia memukul-mukul dadanya mencoba untuk meminimalisir efek dari keselek barusan.
Perkataan gadis itu terlalu tepat sasaran. Dengan tidak percaya Dira menatap kedua sahabatnya. Ia berdecak kagum seolah-olah sedang melihat segerombolan semut membopong gajah lewat di hadapannya. Bagaimana tidak, kejadian di depannya barusan bagaikan memutar flashback dari masa lalu. Bagaimana hal-hal seperti ini sudah terlampau sering terjadi. Hal-hal seperti inilah yang mengisi masa-masa SMA mereka. Kemudian gadis itu tersenyum menyadari sesuatu.
Ternyata, teman-temannya tidak berubah sama sekali.
Tya masih adalah gadis ceroboh yang suka menyemburkan apapun yang ada di dalam mulutnya apabila kaget atau menahan tawa. Ia selalu menjadi pusat perhatian jika sedang makan, karena semburan makanan hasil olahan mulutnya bisa terjadi kapanpun. Membuat setiap orang di sekelilingnya bersikap awas dan waspada. Dira hapal betul hal itu dan sebisa mungkin mengambil kursi yang paling jauh dari Tya. Meskipun mereka bersahabat, hal-hal seperti rasa jijik akan sesuatu yang kotor tak bisa disalahkan jika mereka ingin menjauh, tentunya bukan menjauh dalam arti sebenarnya.
Kemudian Dira mengalihkan fokusnya kepada gadis satunya, meninggalkan Tya yang tengah mencoba membersihkan apa yang sudah diperbuatnya. Gadis tadi bernama Mita, gadis yang 8 tahun lalu selalu diwaspadai karena lidahnya yang tajam. Ia memiliki perawakan yang tenang dan cuek. Seolah-olah tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Namun bisa membuat orang lain terpaku dan speechless hanya dengan satu kalimat yang yang terlontar dari bibirnya dengan spontan. Dan sifat itu tak sedikitpun hilang dari diri Mita yang sekarang.
~~~
“Setiap orang mungkin berubah, menjadi lebih dewasa dan lebih bijak.
Namun, bukankah mereka masih orang yang sama.
Seperti 8 tahun yang lalu,saat Tya menyemburkan makanan dari mulutnya, saat Mita melontarkan kata-kata pedasnya, dan saat aku hanya diam menatap mereka sambil berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalaku.
Kami semua masihlah orang yang sama.”
-Dira Nataliya-
~~~
Tya mengakhiri beres-beresnya dengan mengelap bibirnya menggunakan tisu yang tersedia di atas meja. Ia menatap Mita yang duduk dihadapannya dengan tatapan tidak percaya, “bagaimana bisa kamu tahu aku telat gara-gara ketiduran. Kamu dukun, ya? atau peramal?” tanyanya asal.
Mita lagi-lagi hanya tersenyum sembari menunjukkan layar handphone-nya yang tertera jelas SMS dari Dira tentang dirinya yang datang telat karena tertidur. Tindakan itu menjawab rasa penasaran Tya detik juga. Ia menghembuskan nafasnya kasar dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi dengan sekali gerakan. Ia lupa, bahwa ia memiliki teman yang sangat pintar sedang duduk di depannya. Bagaimana mungkin hal sekecil ini saja tak terpikirkan olehnya.
“Belakangan ini aku insomnia. Jadi kurang tidur.” Jelasnya tanpa diminta. Meski begitu orang-orang di sekelilingnya hanya mengangguk maklum dan kembali melanjutkan kegiatan masing-masing. Mita sedang pergi memesan makanan dan Dira mulai asik berkutik dengan Handphone-nya. Sedang Tya, kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
Tiba-tiba Tya terbelalak, ia melambai-lambai heboh ke arah pintu restoran. Hal itu menginterupsi kegiatan Dira yang kemudian berbalik ikut memandang kea rah pintu restoran yang membelakanginya. Ia tersenyum lebar kemudian sebuah nama terucap dari bibirnya,
“Sally.” 
“Hei, Sally! Sebelah sini!” Seru Tya sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Gadis di ujung sana terlihat bingung untuk sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling restoran untuk mencari sumber suara yang barusan menyerukan namanya. Sedetik kemudian ia tersadar dan melambai balik lalu berjalan cepat kea rah teman-teman yang sudah menunggunya.
Tya menatap Sally dari atas ke bawah tepat saat kakinya menapak di samping kursi yang tadi ditunjuk olehnya. Gadis itu masih mempertahankan selera fashionnya yang sederhana. Dengan rambut panjang hitam bergelombang yang dibiarkan tergerai jatuh sepundaknya dan blouse polos berwarna pink pucat dibalik cardigan putihnya dan celana hitam sebatas lutut juga tas punggung coklat ditambah flatshoe berwarna senada. Sama sekali tak berubah dengan tampilannya 8 tahun yang lalu.
Mereka saling berpelukan untuk menghilangkan perasaan rindu yang mendera. Mita yang sudah selesai dengan pesanannya kemudian ikut bergabung dan memuaskan hasrat kerinduan akan masa lalu, disaat mereka seperti ini, berkumpul saling bercerita dan tertawa tanpa ada beban. Seakan-akan pelajaran memusingkan dan PR-PR yang bertumpuk sama sekali tak bisa menjadi penghalang.
Mita tengah menyeruput orange jus nya saat sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang. Ia terkejut untuk sesaat dan tersenyum saat menyadari siapa pemilik tangan itu. Dengan isyarat gerakan tangan ia menunjuk kursi di sebelahnya mempersilahkan gadis tadi duduk. Gadis itu hanya mengangguk sebelum benar-benar merilekskan diri di atas kursi kayu yang memiliki sedikit bantalan di daerah dudukannya.
Gadis itu mengenakan kaus hitam berlengan panjang dengan syal merah menggantung di lehernya. Rambutnya diikat kuncir kuda dan menyisakan beberapa helai membingkai wajah cantiknya. Perawakannya imut, untuk orang yang tidak mengenalnya mungkin berpikir sedang berhadapan dengan gadis berumur 19 tahunan. Mengesampingkan kenyataan bahwa ia yang tertua diantara teman-temannya.
Meski bertambah satu orang lagi di antara mereka, namun justru meja mereka terasa lebih lenggang. Tya, Dira, dan Sally sedang tidak ada di kursi mereka. Dengan bingung gadis tadi memperhatikan sekelilingnya penuh tanya. Berinisiatif, Mita menjelaskan kepergian tiga orang itu pada nya. Ia mengerti kemudian mengangguk. Dira sedang mengantar Tya ke toilet dan Sally memesan makanan di meja pemesanan. Meninggalkan Mita dengan tugas menunggui sisa teman-teman mereka yang belum datang.
Setelahnya, Mita dan gadis itu terlibat perbincangan yang cukup seru. Hingga tanpa sadar ketiga orang tadi sudah kembali ke kursi masing-masing. Tya duduk di samping Dira karena kursinya diduduki oleh gadis tadi. Sally terlihat tidak terlalu antusias dengan kedatangan gadis itu. Gadis yang sudah menjadi teman sejak kecilnya. Bagaimana tidak, mereka hampir setiap minggu bertemu dan membuat kehadiran satu sama lain tak lagi menimbulkan efek secara langsung. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang memang jarang bertemu.
Tya menopang dagu dan menatap intens pada gadis yang duduk di depannya. Gadis itu terlihat terganggu dan mulai membuka suaranya, “Hei, Tya, jangan ngeliatin aku kayak itu, nah!” ia bergedik ngeri dan mencoba sebisa mungkin memaklumi kelakuan gadis itu.
“Nia, kamu itu hebat banget ya.” Merasa namanya disebut, gadis bernama Nia itu menatap heran pada Tya yang masih memperlihatkan ekspresi yang sama. Tya melepaskan topangan dagunya dan menggerakkan jarinya menyusuri wajah Nia dari jauh.
“mukamu itu, dioperasi plastic ya? Makanya masih baby face sampai sekarang?” Nia melotot, membuat mata sipitnya terlihat lebih besar. “Heh, jangan berbicara sembarangan. Dia memang kayak itu. Cish, operasi plastik apanya? Dasar ngawur!” Dira ikut campur menegur Tya karena omongan asalnya. Sedang yang ditegur hanya tertawa memperlihatkan dengan jelas bahwa ucapannya barusan tak lebih dari candaan semata.
Mita menatap kelakuan teman-temannya itu dalam ekspresi penuh kepuasan. Sudah sangat lama rasanya waktu berlalu dari saat terakhir mereka melewati quality time bersama seperti ini. Ia menatap Nia kemudian tersenyum. Masih sangat jelas dalam ingatannya saat gadis ini lebih dulu mempunyai kartu kependudukan diantara yang lain. Bahkan saat pertama kali bertemu pun ia sedikit tidak percaya ketika mendapati kenyataan gadis ini nyaris setahun lebih tua dari padanya.
Ia menyeruput minumannya lagi, kali ini rasanya ia ingin menghilangkan perasaan sesak yang sedari tadi terasa di dadanya.
~~~
“Ketika kita merindukan seseorang, maka akan sangat terasa sesak. Tapi ketika pada akhirnya kita bertemu dengan orang yang kita rindukan, melewati waktu yang sama seperti di masa-masa lalu. Rasa sesak itu masih ada. Sedikitpun tak hilang.
Namun ada yang berubah.
Ya, rasa sesak yang kurasakan sekarang ini, rasa sesak yang menyenangkan.”
-Mita Riani-
~~~
Nia kemudian mulai berceloteh riang tentang hal-hal yang pernah terjadi di masa lampau. Ia membicarakan bagaimana mereka bisa dekat meski pada awalnya tidak saling mengenal sama sekali. Bahkan ia berpikir takkan ada benang merah yang mampu menyatukan mereka. Berasal dari berbagai sekolah yang berbeda, tingkah laku yang berbeda, dan nyaris setiap hal umum berbeda pada diri mereka.
Obrolan masih berlangsung seru hingga sebuah suara pelan menghentikan seketika konversasi yang berlangsung. Setiap mata kemudian menatap pada sumber suara dengan tatapan penuh arti. Sang objek hanya tersenyum malu-malu dan mencoba meraih kursi terdekat. Perlahan ia duduk. Membiarkan orang-orang di sekeliling meja itu melakukan hal-hal yang mereka sukai. Namun sayangnya tidak ada kegiatan lain yang dilakukan perempuan-perempuan itu selain menatap pada dirinya.
“Aku Tesa. Apa kalian lupa padaku?” tanyanya pelan. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Melihat ekspresi teman-temannya yang tidak bereaksi sedikitpun, ia hanya bisa tersenyum canggung. Di lain sisi terlihat Sally menyapukan pandangannya pada setiap wajah di meja itu, kemudian ia menyunggingkan sebuah senyum penuh arti.
“Hari ini, di penghujung tahun 2021, aku kembali bertemu dengan teman-teman yang pernah menjadi bagian dari lembaran hidupku.
Melihat mereka secara nyata seperti ini memaksaku untuk kembali membuka lembaran usang itu.
Kembali ke tahun 2012-ku yang penuh kenangan.”
-Sally Isma-

***
TBC

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~`~~

Gimana?? Sebenarnya udah lama nggak nulis. Makanya mungkin hasilnya nggak terlalu bagus. Walaupun memang nggak terlalu punya bakat nulis. Well, silahkan menikmati. Kalo bisa komen :)

BABAYY

Wassalam


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

How it feels when you fall in love?

Ulzzang Girl List Name Part 2