Fanfiction : Sun and Spring
Assalamualaikum Wr. Wb. :)
Here i am with another fanfic.
Enjoy and hope you like it :))))
Here i am with another fanfic.
Enjoy and hope you like it :))))
Jisun’s side
Kim Kibum, nama seorang namja yang entah mengapa belakangan ini
menjadi bagian penting dalam hidupku. Untuk saat ini, aku belum bisa
menyebutnya sebagai yang terpenting. Karena pada kenyataannya hal terpenting dalam hidupku kini adalah
kebutuhan primer yang menunjang diriku untuk tetap hidup, apalagi kalau bukan
sandang, papan, pangan. Tapi aku tak bisa memungkiri kalau aku menantikan saat
dimana ia akan menjadi salah satu kebutuhan primerku. Dimana aku takkan bisa
hidup tanpanya.
Sejauh aku mengenalnya, ia adalah namja baik yang terasa berbeda
dari namja baik lainnya bagiku. Ia .. entahlah sedikit susah mendeskripsikannya
dengan kata-kata. Aku tak pernah mengerti alasannya memilihku menjadi seseorang
yang istimewa untuknya. Aku hanyalah gadis yang teramat biasa tanpa ada sesuatu pun yang menarik dari
diriku, setidaknya begitulah aku menilai dari sudut pandangku.
Yang kutau pasti, aku tak
punya alasan yang signifikan mengapa aku mau menjadi seseorang yang special
untuknya. Kurasa bukan karena ia tampan, atau kaya barangkali? Melihat
profesinya sekarang sebagai salah satu orang penting diperusahaan elektronik besar. Atau pemilik
restoran daging yang memiliki cabang dimana-mana.
Tidak. Bukan karena semua hal itu aku memilihnya. Jika mungkin
hal-hal itu yang menjadi alasanku, pastinya aku akan lebih memilih Choi Siwon,
sepupu Kibum yang jelas-jelas lebih
tampan dan kaya , bahkan jauh lebih perfect daripada Kibum. Atau mungkin Cho
Kyuhyun, teman Kibum yang lebih populer dan memiliki suara indah yang mampu
mengalihkan perhatian siapa saja saat mendengar suaranya.
Aku tidak akan bilang Kim Kibum adalah makhluk sempurna yang teramat
mempesona. Namun, aku merasa aku tak punya cukup kemampuan untuk mengalihkan pandanganku
dari wajahnya. Sekali lagi , bukan karena ia teramat tampan dan mempesona,.
Hanya saja, aku menyukai saat-saat dimana aku bisa melihat wajahnya intens dan
menelusuri lekuk-lekuk wajahnya secara detail dengan pandanganku. Perasaan
menyenangkan yang akan kurasa setiap momen itu berlangsung.
Kami berdua kurang suka menggunakan kata ‘kekasih’ atau ‘pacaran’
untuk menggambarkan hubungan yang tengah kami jalani kini. Cukup menganggap
satu sama lain special dan seperti ada relasi yang menyenangkan di antara kami.
Kibum adalah pria dingin yang tak terlalu bisa mengekspresikan apa
yang ia rasakan. Ekspresi wajahnya lebih sering terlihat datar dan dingin, tak
memperlihatkan satupun emosi.
Ia sering tersenyum di depan rekan-rekan bisnisnya, yang kuyakini
sebagai senyum palsu. Hanya sekedar keformalitasan sederhana untuk menampakkan
keseganan pada rekan-rekan bisnisnya itu. Walau pendiam, Kibum selalu bisa menempatkan
diri dengan baik, ia mempunyai bakat berakting yang cukup baik. Jika keadaan
mengharuskannya untuk ramah, maka ia akan berusaha seramah mungkin, jika
keadaan mengharuskannya untuk menjadi pribadi yang murah senyum, ia akan
melakukannya. Ia akan melakukan segalanya demi sebuah keprofesionalitasan.
Terkadang, ia pulang kerja dan mampir di apartemenku yang berada tak
begitu jauh dari perusahaan tempatnya bekerja. Aku selalu hapal wajahnya,
ekspresi wajah kelelahan dan muak dengan semua yang terjadi di sekelilingnya.
Karena bakatnya dalam bidang design, terkadang perusahaannya memaksa Kibum
untuk kerja lebih keras dari karyawan lainnya. Kibum adalah seorang manajer
bagian desain untuk setiap produk yang akan di luncurkan perusahaan itu. untuk
itu pastilah otaknya selalu dipaksa bekerja setiap hari agar memunculkan ide
kreatif demi menaikkan penjualan barang dan pendapatan perusahaan.
Kibum juga sering keluar kota untuk menghadiri rapat dengan klien
dan mempresentasikan mengenai produk baru yang akan diluncurkan perusahaannya.
Saat itu terjadi, aku akan merasa sangat menyesal dan sedih. Ia punya restoran
yang aku yakin cukup memenuhi kebutuhannya, menurutku apalagi yang ia butuhkan
dengan bekerja seperti itu. tapi ia selalu punya alas an setiap aku menegurnya.
Ia bilang begitulah cara ia menyalurkan hobinya. Dan sekali lagi, aku tak mau
membantah opininya.
Terserahlah, aku sudah bosan menceramahinya dengan berbagai resiko
dari kesibukannya sekarang. ia sering terlambat makan, kurang tidur, dan asupan
gizinya tidak terkontrol dengan baik. Bagaimana tidak, ia lebih sering memakan
makanan cepat saji daripada makanan sehat yang mungkin membutuhkan waktu lama
untuk disajikan.
Beberapa kali, aku datang ke kantornya pada jam makan siang dan
membawakannya makanan sehat yang terdiri dari sayur-sayuran hijau. Aku prihatin
melihat kondisinya yang seperi mayat hidup, matanya sayu karena terlalu lelah,
lingkaran hitam terbentuk di kedua matanya menemani kantong mata yang juga
semakin besar. Aku tidak tahu lagi upaya apa yang harus aku lakukan untuk
membuatnya bebas dari semua ini. Yang bisa aku lakukan hanya mensupportnya,
berdiri di sampingnya sambil menggenggam tangannya erat dan meyakinkannya bahwa
semua akan baik-baik saja.
Orang-orang kantornya sering meledek kami berdua saat aku
merecokinya tentang pentingnya makan tepat waktu dan mengosumsi makanan sehat.
Mereka bilang aku seperti ibunya, aku tak peduli, toh mereka juga mendukungku
karena ikut prihatin dengan keadaan Kibum yang menyedihkan. Syukurnya cara itu
selalu berhasil dengan baik, ia akan dengan senang hati memakan makanan yang
kubuatkan, tak peduli rasanya enak atau tidak.
Setiap kali ia datang ke apartemanku ia akan masuk tanpa izin.
Karena memang ia mengetahui password apartmentku yang sengaja kuberi tahu agar
ia bsia beristirahat kapanpun disini. Kemudian ia akan berbaring di sofa ruang
tamu dan tertidur. Saat itu aku akan membuatkannya teh hijau atau minuman sehat
lainnya yang kulihat dari internet atau kudengar dari orang-orang disekitarku.
Lalu ia akan terbangun dan meminum minuman yang kubuatkan.
Setelahnya ia akan diam, dan aku duduk dihadapannya, membiarkan mata kami
berbicara satu sama lain meskipun mulut hanya diam. Aku tak tahu, tapi hanya
memandang tepat kedua bola matanya aku bisa mengerti apa yang ia rasakan. Dan
anehnya aku belum bisa terlalu terbiasa dengan situasi ini, terkadang wajahku
memerah dengan sendirinya jika ia terlalu lama menatapku, dan saat itu terjadi
ia akan tersenyum. Senyum manis yang amat aku sukai. Dan yang satu ini bukanlah
senyum palsu.
Ia orang yang lebih banyak diam dan membiarkan orang lain menebak
isi pikirannya daripada menjelaskan secara gamblang apa yang dirasakannya. Ia
adalah pria yang lebih suka diam dan duduk di pojok sambil mendengarkan musik
daripada bercengkrama dengan teman-temannya saat sedang berkumpul. Dan anehnya
ia menikmati itu semua, berbeda denganku yang tak akan mungkin bisa melakukan hal itu.
Karena kesibukannya dan kesibukanku yang bekerja sebagai guru di
sebuah sekolah dasar, terkadang kami tak punya cukup waktu untuk sekedar
mengahabiskan waktu berdua atau yang lebih sering dibilang ‘berkencan’. Aku
bekerja dari pukul 7 pagi hingga 3 siang, dan ia tak tentu tergantung dengan
perusahaan. Terkadang ia harus menghabiskan waktu 18 jam di kantor saat
perusahaan akan meluncurkan produk baru. Hingga semua urusan restoran ia
serahkan pada hyungnya yang bernama Kim Heechul.
Kibum bukanlah orang yang suka berbicara panjang lebar jika tidak
penting. Aku juga tidak pernah memaksanya untuk melakukan hal itu. bagiku cukup
mengetahui ia baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup. Dan selalu bisa membuatku
bernafas lega. Seperti ada beban berat terangkat dari pundakku.
Kibum orang yang selalu bisa mengerti keadaanku. Saat aku sedang
bersedih atau saat aku ada masalah, aku akan menelfonnya. Ia akan diam dan
membiarkan aku bercerita panjang lebar. Ia tak pernah memberiku ceramah panjang
lebar setiap aku menceritakan masalahku, atau memprotes jika aku melakukan
kesalahan dan bercerita padanya. Ia hanya akan diam dan tertawa kecil saat aku
selesai bercerita. Dan anehnya suara tawa itu mampu manghilangkan semua
kesedihanku dalam sekejap, setelahnya aku akan tertawa terbahak-bahak sebelum
menutup telpon. Aneh bukan?
Terkadang ada saat-saat dimana aku membutuhkannya dan aku sangat
ingin menelponnya, tapi entah mengapa ia seperti bisa membaca pikiranku dan
menghubungiku duluan. Aku tak tahu, tapi mungkinkah ini yang dinamakan kontak
batin? Aku tak mau tahu dengan hal-hal imajinatif semacam itu, yang terpenting adalah apa yang terjadi kini. Saat itu terjadi
Kibum akan menanyakan keadaanku, dan selalu saja bisa ditebak olehnya. Aku akan
segera menumpahkan perasaanku saat itu juga, bercerita panjang lebar, tak
peduli meskipun tanggapannya hanya kata-kata singkat, bagiku itu semua sudah
cukup. Aku tak mau, dan tak akan pernah mau memaksanya berbicara penjang lebar
kecuali ia yang menginginkannya.
Orang-orang di sekitar kami sering menyebut aku dan Kibum sebagai
pasangan aneh. Bagaimana bisa Kibum yang dingin dan pendiam menjalin hubungan
denganku yang cerewet dan tak bisa diam. Mereka berpikir jika kami berduaan apa
yang akan terjadi, paling-paling aku akan berbicara panjang lebar dan ia hanya
diam sebagai tanggapan. Aku tak pernah peduli kata-kata orang, karena ini
hidupku. Apa urusannya dengan mereka. Selama kami tak pernah merugikan mereka
aku merasa mereka tak punya hak untuk memprotes hubungan kami. Meskipun hal
yang mereka pikirkan terjadi sekalipun, aku akan tetap setia pada Kibum. Toh,
hanya memandang wajahnya dan melihat ia baik-baik saja sudah lebih dari cukup
untukku.
Aku mengetahui satu rahasia kecil yang kurasa selama ini Kibum coba
sembunyikan dariku. Ini mengenai mantan kekasihnya. Seorang gadis cantik yang
lebih muda sekitar 3-4 tahun dari Kibum. Gadis itu orang Korea keturunan
Amerika yang pernah sama-sama tinggal di Amerika bersama Kibum. Namanya Lee
Moonhwa. Aku merasa Kibum belum sepenuhnya melupakan gadis yang telah
mencampakkannya itu. bahkan mungkin tak pernah lupa sedikitpun.
Aku merasa cinta Kibum kepadaku bahkan tak sampai setengah dari
cintanya ke Moonhwa. Kenyataan ini selalu berhasil membuatku cemburu dan
merasakan sakit yang teramat sangat. Aku sangat takut, bagaimana jika suatu
hari Moonhwa kembali di kehidupan Kibum dan merebutnya dariku. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana jadinya diriku nanti saat hal itu terjadi, apakah aku
mampu melepas Kibum? Entahlah, aku tak mau tau dan tak pernah mau tau dengan
hal itu. selalu berharap hari itu tak akan datang, hari dimana ketakutan
terbesarku terjadi.
Aku pernah memeriksa dompet Kibum dan menemukan foto gadis itu
tersembunyi di balik fotoku dan Kibum. Bukankah hal itu sudah cukup menjadi
tanda bahwa ia masih menyimpan rasa padanya. Sial, kenyataan itu benar-benar
berhasil membuatku seperti orang gila selama beberapa hari, aku mengambil cuti
dari pekerjaanku dan memutuskan untuk tak keluar apartment sama sekali. Tak
menghubungi Kibum dan teman-temanku yang lain, membiarkan diriku terpuruk dalam
kesedihanku sendiri.
Aku mengganti kode apartmentku agar Kibum tak bisa masuk, ia terus
membunyikan bel dan memanggilku beberapa kali, menghubungi telponku terus-terusan
meminta penjelasan atas apa yang terjadi padaku. Tapi tak ada satupun
panggilannya yang ku gubris. Hingga ia berlaku nekat dengan pergi ke apartment
tepat di atasku dan turun ke kamarku menggunakan tangga darurat. Ia masuk
melewati jendela kaca besar yang memang kubiarkan terbuka agar angin masuk dan
menemani kesendirianku saat itu. setelah itu ia memelukku dan aku tak ingat
lagi apa yang terjadi. Yang pasti, aku terbangun di rumah skit dengan infuse
terpasang dan kedua orang tuaku yang menatapku khawatir.
Aku tak melihat Kibum saat itu, orang tuaku bilang ia ada urusan
darurat di Amerika yang mengharuskannya untuk pergi ke negeri paman sam itu. Dan
saat itulah ketakutan terbesarku terjadi, ia menemui gadis itu disana, entah
apa yang meraka lakukan. Saat mengetahui hal itu aku menangis seketika,
tangisan pertamaku selama 10 tahun terakhir. Melakukan hal yang selama ini
kuanggap tabu, dan sialnya ini semua karena pria itu dan gadis sialan itu.
Lagi-lagi aku terpuruk, lebih menyedihkan dari keadaan sebelumnya,
aku berhenti kerja dan pulang ke rumah orang tuaku di Incheon, menjauh sejauh
mungkin dari pria itu. Mencoba agar ia tak bisa menggapaiku.
Dan kini aku menyadari, Menjauh darinya merupakan satu keputusan
yang sangat salah yang kuambil saat itu.
~~~
Author’s
side
Jisun
berjalan pelan di jalan setapak yang menghubungkan pagar dengan ayunan di ujung
halaman rumah kedua orang tuanya. Ia menghirup nafas dalam-dalam hingga ia rasa
paru-parunya tak mampu lagi menampung oksigen. Tangannya bergerak mencengkram
dadanya. Ada yang terasa aneh di sana. Rasa sesak seperti dililit tali tambang
besar dan sialnya orang yang bisa melepasnya kini tak disamping Jisun. Dan
Jisun sudah memutuskan untuk membenci orang itu. Tak peduli seberapa butuh
dirinya akan kehadiran laki-laki itu.
Jisun
naik, duduk di atas ayunan dan mulai menggerakkan ayunan tersebut dengan
kakinya. Pikirannya kini entah berada dimana, melanglangbuana pergi sejauh yang
tidak diketahuinya. Lagi-lagi ia merasakan rasa sesak yang teramat sangat di
dadanya. Ia hampir saja menangis lagi, entah tangisan keberapa sejak ia pertama
menangis sebulan silam dan sialnya, ini semua karena laki-laki itu. Laki-laki
yang tak akan mungkin bisa digapainya kini. Atau lebih tepatnya tak ingin ia
gapai lagi, dengan cara apapun, bagaimanapun.
Tubuh
Jisun terlihat begitu berantakan. Rambut pendeknya awut-awutan karena terus
dijambakinya sendiri, sebuah usaha yang sangat salah untuk bisa melupakan
lelaki itu yang merupakan sumber masalah terbesarnya. Mata jisun terlihat
membengkak dengan lingkaran hitam dan kantong mata besar di sekelilingnya
sebagai akibat dari kurang tidur dan terlalu banyak menangis. Ia hanya
mengenakan kaos oblong hitam kesayangannya yang sudah lusuh karena terlalu
sering dipakai. Ia tak peduli, sama sekali tidak peduli dengan penampilannya,
ia hanya memikirkan bagaimana melupakan pria itu.
Di
sisi lain, namja yang sangat ingin ditemuinya sedang berdiri di balik sebuah
pohon rindang beberapa meter dari ayunan tersebut. Masih cukup dekat untuk bias
memantau gerak-geriknya, namun disaat yang sama juga cukup jauh untuk disadari
oleh penghuni ayunan itu. Ia bergeming di posisinya. Pandangannya terarah tepat
pada sosok gadis yang sedang memainkan ayunan. Gadis yang amat dirindukannya
hingga rasanya ia bisa mati jika rasa rindu itu tidak terobati saat itu juga. Ia menatap nanar, ingin rasanya ia berlari
kesana dan memeluk gadisnya, tapi sayangnya ia terlalu lemah untuk melakukan
hal itu.
Kibum
masih terdiam di posisinya. Ada rasa sakit yang amat perih ia rasakan di
dadanya. Ia ingin menangis sebagai pelampiasan dari rasa sakit itu. Tapi,
lagi-lagi ia hanya bisa terdiam.
Angin
musim semi berhembus menerbangkan rambut pendek Jisun. Entah mengapa rasa sakit
yang ia rasakan sedikit berkurang. Seakan-akan namja yang ia butuhkan sekarang
kini ada di dekatnya. Ia sedikit bisa merasakan hal itu meski tidak
meyakininya. Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jisun. Terlihat sedikit
ekspresi kelegaan di wajahnya. Kemudian ia memutuskan untuk beranjak dan pergi
meninggalkan ayunan itu. Melangkah perlahan masuk ke dalam rumah.
Kemudian
sebuah lengkungan kecil lainnya mulai terbentuk di wajah Kibum seketika saat ia
menangkap senyum di wajah gadisnya. "Kau bisa merasakan kehadiranku,
Jisun-ah?" desisnya pelan. Saat itu ia sudah memutuskan satu hal. Bahwa ia
akan nempertahankan gadisnya, apapun yang terjadi.
~~~
Kamar
bercat putih sederhana itu terliht sedikit berantakan. Seorang gadis tengah
terbaring di kasur bersprai abu-abu polos. Matanya terpejam, tapi ia tidak
benar-benar tertidur. Meskipun sangat ingin. Sepertinya alam mimpi belum
mengizinkannya untuk masuk ke dalamnya.
Kibum
melihat pemandangan itu dari luar pintu yang sedikit terbuka. Melihat gadisnya
yang tengah tertidur menyamping membelakanginya. Ia sangat ingin pergi kesana
dan berbaring di sampingnya, sekedar untuk mendengar suara nafas gadisnya yang
menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Seperti kebiasaannya saat pulang kerja
beberapa tahun belakangan.
Tanpa
sadar kaki Kibum melangkah dengan sendirinya, sepertinya kerja otak dan
tubuhnya sedang tidak sinkron sekarang. Langkahnya sepelan mungkin agar tak
membangunkan sosok yang tengah berbaring itu. Ia berhenti di pinggir kasur tapi
tak juga beranjak untuk berbaring, hanya duduk dan membelakangi gadisnya. Ia
menghirup nafas panjang, rasanya sedikit menyenangkan mengetahui kenyataan ia
menghirup udara yang sama dengan gadisnya.
"Jisun-ah",
Kibum memanggil jisun pelan. Panggilan itu sama sekali tak mengharapkan balasan.
Ia hanya ingin mengucapkan nama itu. Nama yang beberapa tahun belakangan ini
mengisi hari-harinya.
"Kau
tau Jisun-ah?" tanyanya pelan membuka obrolan. Sekali lagi ia sama sekali
tak mengharapkan balasan atau jawaban dari pertanyaan itu. Kibum terdiam untuk
sesaat dan menghela nafas singkat sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Maukah
kau mendengarkanku? Aku punya sebuah cerita tentang seorang laki-laki
bodoh." Kibum terdiam lagi, pikirannya melayang ke masa lalu. Mencari
kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan segalanya.
"Namja
itu tinggal di Amerika sejak umur 10 tahun. Ia tinggal, bersekolah dan hidup
bahagia bersama adik perempuan dan ibunya di sana. Saat ia mulai beranjak
dewasa dan mulai mengenal arti cinta, ia pun belajar untuk mencintai seseorang.
Namja itu merasa sudah bertemu dengan orang yang tepat. Gadis itu cantik, manis
dan baik. Namja itu suka semua yang ada pada gadis itu. Ia pun memutuskan untuk
menyatakan cintanya. Hingga akhirnya dua orang itu menjalin hubungan."
Nafas kibum tercekat. Ada sedikit rasa sakit yang ia rasakan. Seperti membuka
luka lama yang selama ini sudah nyaris tertutup.
"Namja
itu sangat mencintai kekasihnya. Tapi tidak dengan kekasihnya, ia mencampakkan
Namja dengan alasan konyol yang tidak bisa namja terima. Gadis itu menyukai
pria lain dan nemutuskan hubungan mereka yang sudah terjalin selama 2
tahun."
"Saat
itu namja merasa hancur. Ia seperti kehilangan dunianya. Sebuah pengkhianatan
menyedihkan yang pertama kali ia rasakan. Namja itu kalut, ia tidak tahu harus
berbuat apa untuk menyembuhkan sakit hatinya. Hingga akhirnya ia memutuskan
untuk melarikan diri. Saat itu ia merasa tidak akan mungkin bisa menyembuhkan
luka itu. Dan keputusan untuk melarikan diri
itu sama sekali bukan keputusan yang terbaik yang bisa ia ambil. Tapi, apapun
yang terjadi ia hanya ingin menjauh. Namja itu pun memutuskan untuk kembali ke
kampung halamannya, mencoba untuk memulai kehidupan yang baru disana. Meski ia
sama sekali tak yakin hal itu bisa berjalan dengan baik."
"Saat
tiba di tempat tujuannya, dia memutuskan untuk menghilangkan semua hal yang
berhubungan degan gadis itu. Ia menghapus nomornya, folder yang berisi khusus
fotonya, dan gilanya ia membuat sebuah folder baru. Sebuah folder bernama 'Sun'
menggantikan folder lama yang ia beri nama 'Moon'. Entahlah, ia sendiri tidak
mengerti alasannya melakukan hal itu. Ia hanya merasa bahwa itulah yang
seharusnya ia lakukan."
Kibum
mengehentikan omongannya sesaat. Menarik nafas panjang dan mencoba menyusun
beberapa kalimat yang ingin ia ucapkan. Kemudian ia tersenyum, mengingat bahwa
selanjutnya semua akan menjadi lebih mudah dan menyenangkan.
"Namja
itu berjalan nengikuti langkah kaki membawanya. Hingga akhirnya ia sampai di
sebuah kafe kecil yang ramai pengunjung. Ia pikir mungkin sedikit kafein bisa
mengurangi rasa sakitnya. Kau tahu,
Jisun-ah. Disanalah semua berawal."
Tiba-tiba
sebuah kenangan terlintas di memori otak Kibum. Ia menutup kedua matanya dan
tersenyum manis. Otaknya fokus dan hanya terfokus pada satu memori menyenangkan
itu.
~~~
Incheon,
3rd of April 2007
Pesawat
dari Amerika itu baru saja landing,
membawa puluhan orang dengan kesibukan masing- masing untuk turun di negeri
gingseng ini. Seorang bocah berumur akhir belasan turun membawa seluruh perasan
sakit yang kini tengah menderanya. Tanpa ada semangat sedikitpun ia turun
melewati tangga sembari menyampirkan tas punggung kecil di pundak kanannya.
Langkah
kaki namja itu terus membawanya ke tempat pngambilan barang. Masih dengan
ekspresi dingin yang sama ia mengambil koper hitam kecil miliknya. Tanpa pikir
panjang, namja itu menyeret kopernya, berpikir untuk segera keluar dari airport
di Kota Incheon itu.
Tangan
kiri namja itu meyeret koper sembarangan sedang tangan kanannya yang tadi bebas
kini menggenggam handphone flip dengan warna perpaduan antara hitam dan
abu-abu. Persis menggambarkan perasaannya yang kini kelam dan gelap.
Langkah
namja itu berhenti seketika. Matanya terpaku pada wallpaper handphonenya yang
seolah-olah tengah memperoloknya sekarang ini. Ia menyeringai sekilas,
tiba-tiba saja ingatan tentang gadis yang menjadi objek pada wallpaper itu
terbersit di ingatannya. Suatu memori menyebalkan yang saat ini sedang
mati-matian ia coba lupakan. Ia sadar, saat ini ia harus melakukan suatu
tindakan, karena itu tangannya bergerak menekan beberapa tombol pada keypadnya, membuka sebuah folder dan
mendelete folder foto bernama 'moon' itu. Moon untuk Moonhwa.
Ya,
lee moonhwa. Nama seorang gadis yang beberapa hari lalu mencampakkannya. Gadis
itu dengan seenaknya mengakhiri hubungan mereka yang sudah terbina selama
kurang lebih 2 tahun. Dengan alasan konyol bahwa ia menyukai seniornya di high school. Namja mana yang tidak sakit
hati diperlakukan seperti itu.
Jari-jarinya bergerak lagi pada keypad.
Tanpa sadar ia mulai membuat folder baru dengan nama ‘Sun’. entah untuk
apa, mungkin ia hanya berharap pada akhirnya akan ada matahari yang
menggantikan bulan dihatinya. Matahari yang nantinya akan memenuhi folder baru
itu. Matahari yang tanpa ia sadari mulai mendekat ke arahnya, semakin dekat dan
dekat. Hingga ia bisa mencapainya.
Langkah
kaki namja itu terhenti di depan sebuah cafe. Jendela kaca bening yang juga
berperan sebagai dinding cafe membuat pemandangan di dalam cafe bisa terlihat
jelas oleh kedua matanya. Keramaian di dalamnya, nuansa klasik yang amat kental
ditambah warna coklat kayu yang mendominasi setiap sudut ruangan. Semua itu
seolah menghipnotisnya untuk masuk dan sekedar menyesap secangkir kopi.
Ia
melangkah masuk dan segera disambut udara hangat dari penghangat ruangan yang
dipasang di dekat pintu. Untuk menunjukkan kesan hangat pada pengunjung. Namja
itu menyapukan pandangannya ke sekeliling. Mencari meja kosong yang bisa ia
duduki mengingat keadaan cafe hari ini cukup ramai.
Matanya
tertuju pada satu meja kosong di pojok ruangan dekat jendela. Dengan langkah
lemas ia berjalan kearah meja dan berharap kafein dalam kopi yang ingin ia
pesan bisa mengurangi sedikit rasa sakit di hatinya, atau paling tidak rasa
pahit dari kopi itu bisa membuatnya sedikit lupa dengan masalahnya.
Tapi
tidak, pada kenyataannya itu hanyalah secangkir kopi. Dimana kafein sama sekali
tak bisa mengurangi rasa sakitnya. Rasa pahitnya tak bisa mengalihkan
pikirannya. Ia sangat sadar akan hal itu. Tapi berharap pada sesuatu yang
mustahil bukan dosa kan?
Namja
itu duduk dan memesan secangkir espresso pada waitress. Ia menatap meja kotak
di depannya dalam diam. Tak tahu harus berbuat apa untuk menghabiskan waktu
menunggu pesanannya. Ia memain-mainkan jarinya, ia pikir mungkin bisa membunuh
sedikit waktu.
"Chogio,
boleh aku duduk disini?" sebuah suara yang sedikit cempreng membuyarkan
lamunannya. Ia mendongak dan menatap pada sumber suara barusan.
Seorang
gadis muda yang kira-kira berumur 16 tahunan menatap penuh harap pada namja itu.
Namja hanya diam kemudian menangguk kecil pertanda mengiyakan. Gadis tadi
tersenyum sumringah kemudian mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan
dengan namja.
Namja
memandangi gadis itu lekat-lekat. Entah mengapa ia merasakan sesuatu yang aneh
pada gadis itu. Sesuatu yang sedikit banyak berhubungn dengan dirinya sendiri.
Sesuatu yang ia tak tahu dan merasa tak perlu mencari tahu, karena ia merasa
sesuatu itu akan diketahuinya nanti, entah kapan, mungkin saat yang tepat
nanti.
Gadis
itu menyapukan pandangannya ke setiap sudut kafe. Tatapannya seolah-olah
menampakkan rindu yang luar biasa menyesakkan, kemudian ia menghela nafas kasar
dan memfokuskan pandangannya pada namja di hadapannya.
"Maaf
mengganggumu, tuan. Tempat duduk ini adalah tempat favoritku. Aku hanya ingin
menikmatinya sebelum pergi dari sini." tutur gadis itu dengan suara
seraknya tanpa komando sedikitpun. Namja hanya mengerutkan alisnya, kemudian
berkata dengan nada datar yang terkesan dingin. "Gwaencana." ucapnya
singkat.
Beberapa
saat kemudian seorang waiter mendatangi mereka berdua. Ia memberikan secangkir
espresso pada namja dan beralih menatap pada gadis itu. Ia terlihat tersenyum
ramah dan memberikan buku menu padanya. Gadis itu hanya tersenyum kemudian
berucap dengan kalimat akrab.
"oppa,
aku pesan yang biasa. Tidak perlu memberikanku buku menu seperti ini."
katanya dengan nada sedikit merajuk. Waiter itu kemudian tertawa ringan dan
mengacak rambut gadis itu. " oppa tau! Secangkir machiatto dan seporsi
waffel coklat, kan?" jawabnya dengan jelas, kemudian waiter itu pergi dan
ditatap dengan tatapan sebal oleh si gadis yang kini tengah memperbaiki tatanan
rambutnya.
Sebenarnya
sedari tadi namja agak terganggu dengan hal yang terjadi barusan. Yang ia
butuhkan kini adalah ketenangan, dan apa yang dua orang tadi lakukan cukup
mengganggu ketenangannya. Ia kembali memainkan handphone di tangannya sambil
sesekali menyeruput espresso panas yang tersaji di atas meja. Setiap kali ia
menyeruputnya semakin ia sadar mengenai satu hal. Ya! Yang tengah ia minum
hanyalah secangkir kopi pahit. Yang sama sekali tak bisa membuatnya lupa dengan
rasa sakitnya ataupun hanya sekedar mengalihkan pemikirannya dari rasa sakit
itu.
Yang
ia minum hanya secangkir kopi pahit yang tak akan pernah beralih menjadi obat sakit
hati. Ya! Hanya secangkir kopi biasa.
Tak
berapa lama kemudian waiter tadi kembali mendatangi mereka untuk mengantarkan
pesanan sang gadis. Dengan antusias gadis itu menerima pesanannya dan segera
memotong wafel coklatnya menjadi beberapa bagian kemudian melahapnya satu
persatu.
"Wafel
disini sangat enak. Lain kali kau harus mencobanya, Tuan. Kau pasti tidak akan
menyesal." ucap gadis itu di sela-sela melahap wafelnya. Ia terlihat
sangat senang, tergambar dari ekspresi wajahnya yang berbinar-binar. Namun
seketika ekspresi itu berubah menjadi ekspreai sedih seolah-olah merindukan
sesuatu. Perubahan ekspresinya itu tak urung membuat namja mengerutkan dahi. Ia
sedikit tertarik dengan jalan pikiran gadis di depannya.
"Agaessi,
neo waekurae?" tanya namja itu akhirnya. Sebenarnya ia bukanlah orang yang
suka mencampuri uusan orang lain. Tapi anehnya gadis ini sangat menarik
baginya. Membuat namja seolah-olah ingin mengenalnya lebih dekat.
Gadis
itu mengangkat kepalanya dan menatap pada namja dengan tatapan bingung. Tapi
tak urung bibirnya mulai bergerak dan satu persatu kata mulai terlontar
membentuk satu alur cerita. Gadis itu bercerita dengan ekspresi yang
berubah-ubah. Yang anehnya Membuat namja sedikit lupa dengan masalahnya.
"Aku
sangat suka tempat ini. Tapi kepindahan appa ke luar kota membuatku terpaksa
meninggalkan kafe ini, kota ini, dan banyak tempat di kota ini yang penuh
dengan memori bahagia. Aku sudah tinggal disini dari umur 4 tahun dan itu
berarti sudah 12 tahun. Huft."
"Kau
kan bisa pergi ke sini kapanpun." tanggap namja itu tak sedingin tadi.
Sepertinya keramahan dari sang gadis berhasil mencairkan sedikit sifat
dinginnya.
Gadis
berambut pendek itu hanya terkekeh pelan. Namja itu heran, bagaimana bisa ada
orang yang merubah ekspresi moodnya semudah itu. Tadi ia sedih, tiba-tiba
senang lagi, kemudian kembali sedih, dan kemudian tertawa kecil.
"Aku
juga tau itu tuan, tapi tak akan mungkin sesering dulu bukan?" jawabnya
enteng. Gadis itu menyelipkan rambutnya di belakang telinga lalu mulai melahap
wafelnya yang tersisa.
"Tuan.
Boleh aku bertanya sesuatu?"
Kibum
yang tadi menunduk menatap pada cangkir kopinya kini mendongak menatap tepat
pada kedua manik kecoklatan milik gadis itu.
"ya?"
"Apa
kau percaya takdir?" tanyanya langsung. Laki-laki itu mengerutkan
keningnya, tak langsung menjawab.
"Maaf
jika aku lancang?" gadis tadi menampakkan ekspresi menyesal. Dan kali ini
laki-laki itu merasa gemas dan seolah ada keinginan kuat dalam dirinya untuk
mengacak rambut pendek gadis di depannya.
Kali
ini laki-laki itu yang terkekeh. Ia menarik nafas panjang sekali dan tersenyun
kecil.
"Jika
itu artinya aku pergi ke kota ini dan bertemu dengan seseorang sepertimu adalah
takdir. Kurasa aku percaya."
"Cish
pikiran dangkal macam apa itu? Kau tau Tuan, kita tak akan tau apakah ini
takdir atau bukan jika kita belum melewatinya."
"Kita
tak bisa menyebut pertemuan ini takdir, karena kita belum tahu. Hal apa yang
berubah dalam hidup kita setelah pertemuan ini. Jika ini adalah takdir maka
kita akan bertemu kembali dengan cara yang mungkin tidak kita duga. Jika tidak,
dan tak ada yang berubah dari hidup kita setelah ini. Kurasa ini bukanlah
takdir."
Laki-laki
itu terdiam sesaat mendengar penuturan sang gadis. Sesuatu kemudian terbersit
di otaknya dan membuatnya tersenyum kecil, "Hei bagaimana jika kita
bermain sebuah permainan takdir."
"Maksudmu
tuan? Aku tidak mengerti."
"Hari
ini kita bertemu tanpa mengucapkan nama masing-masing. Jika ini adalah takdir,
maka pada akhirnya kita akan kembali bertemu. Dan saat itu tiba, kita saling
memperkenalkan diri secara resmi. Bagaimana?"
Gadis
itu tersenyum lebar menyadari ide brilian yang dilontarkan oleh laki-laki itu.
Meski saat itu ia masih terlalu muda untuk mengerti arti takdir sebenarnya.
Namun ia hanya ingin mempercayai kata hatinya, bahwa permainan ini bisa jadi
sangat mengasyikkan.
"Aku
setuju. Kalau begitu aku harus pergi sekarang, Tuan. Terima kasih atas obrolan
menariknya. Dan satu lagi, kau harus mencoba wafel disini. Rasanya sangat
enak." sembari bangkit dari duduknya, gadis itu tersenyum lebar dan
menundukkan badannya 90 derajat. Kemudian melenggang pergi tanpa menoleh
kembali.
End of flashback
~~~
"Namja
itu bertemu dengan seorang gadis dan mengajaknya bermain permainan takdir.
Namun mereka yang terlalu muda saat itu masih benar-benar belum mengerti arti
takdir sebanarnya. Mereka pikir takdir akan selalu indah. Pada awalnya memang
seperti itu, mereka berdua kembali bertemu dan segalanya terasa indah. Tapi
saat takdir berbalik menyerang dan membuat keduanya sadar sudah saling
menyakiti, dua orang itu sama sekali belum siap menghadapinya."
Kibum
menarik nafas panjang, paru-parunya terasa penuh, tapi ia tak bisa berbohong
bahwa ada sedikit rasa sesak disana.
"Tapi
tau kah kau Sun-ah? Di permainan itu, sejak awal namja melakukan sedikit
kecurangan. Ia menanyakn nama gadis pada waiter yang ia panggil oppa saat itu.
Dan saat tau, waktu itu namja benar-benar percaya kalau memang ada benang
takdir yang menghubungkan mereka. Dan ia yang membuat folder 'sun' dalam hp
saat itu bukan tanpa alasan. Karena saat itu juga ia meyakini setelahnya akan
ada seseorang bernama jisun yang akan memenuhi folder tersebut."
Jisun
yang sedari tadi menyimak dalam diam setiap penuturan Kibum, kini tak bisa lagi
membendung air matanya. Setetes demi setetes cairan bening itu mulai keluar
meski tanpa isakan. Dan bersamanya seolah ada cerita lain yang ikut mengalir,
memaksa Jisun untuk kembali mengingat kenangan usang lainnya.
***
Seoul, 13
April 2010
Jisun
berjalan pelan menyebrangi zebra cross. Beberapa tumpuk buku berhalaman tebal
tergenggam sempurna di kedua tangan kurusnya. Rambutnya sudah sedikit lebih
panjang daripada 3 tahun lalu saat ia baru pindah ke kota ini.
Begitu
banyak hal yang telah berubah. Kini ia bukan lagi anak SMA, ia sudah menjadi mahasiswa
semester 3 untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan di Seoul University. Jisun membenarkan kaca matanya yang merosot turun nyaris menyentuh ujung
hidungnya. Dengan buku-buku itu dan keharusannya untuk membnarkan letak alat
pembantu penglihatan itu sejujurnya cukup merepotkan. Ia mencoba menahan beban
buku-buku tebal itu dengan satu tangan sedang tangan lainnya, menggerakkan
ujung kacamata untuk membuatnya kembali ke tempat semula.
Lampu lalu lintas berubah menjadi warna hijau tepat saat kakinya menapak di
ujung zebra cross. Jisun sedikit mendongakkan kepalanya dan menarik nafas
panjang, sebuah taman kecil terhampar di epannya tepat di ujung trotoar.
Beberapa gazebo terlihat sudah berpenghuni oleh beberapa orang yang nampak
sibuk dengan buku-buku di depan ereka. Jisun kembali melanjutkan langkahnya,
melewati jalan setapak taman itu yang menjurus langsung pada pintu kayu lebar
yang terdapat tulisan ‘Perpustakaan’ di depannya. Perpustakaan itu memang
hanyalah perpustakaan kecil yang berdiri nampak sangat sederhana di tengah kota
Seoul yang dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi. Namun, ada sebuah perasaan
nyaman yang menyambut setiap orang yang datang ke sana, membuat sebuah
keinginan untuk kembali datang dan merasakan perasaan nyaman yang sama lagi.
Jisun masuk dan disambut dengan seorang pustakawan muda yang ia kenal
sebagai hoobaenya di SMA dulu, seseorang yang memperkenalkannya pada
perpustakaan itu. Jisun membalas senyumnya, dan tanpa ragu meletakkan tumpukan
buku tebal di tangannya tadi di atas meja administrasi tempat pendaftaran buku
yang hendak di pinjam atau dikembalikan.
“Kau membaca semua buku ini hanya dalam waktu seminggu?” Pustakawan itu
membuka suara, Jisun tersenyum kemudian mengangguk,
“Wae? Aku hanya mencoba agar tidak terlambat mengembalikannya. Apakah kau
senang jika aku terlambat mengembalikan
buku-buku itu dan membayar denda.” Pustakawan itu nampak salah tingkah
dan hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Ah, bukan begitu Sunbae,
hanya saja aku memujimu karena kagum dengan kemampuanmu membaca cepat.”
“Hahaha, Ara-“
“Chogio, dimana aku bisa menemukan buku tentang elektro.” Sebuah suara
maskulin yang tiba-tiba terdengar dari seseorang di samping Jisun menginterupsi
perkataannya. Gadis itu menoleh dan merasa sedikit familiar dan tampak samping
sang namja. Ia merasa pernah bertemu di suatu tempat, dalam sebuah memori yang
buram seakan tertutupi kabut, ia tahu ia pernah berada di satu meja yang sama
dengannya.
“Anda bisa menemukannya di pojok sebelah kanan.” Terang pustakawan itu sembari
memperlihatkan gesture menunjuk ke arah yang dituju.
Namja itu hendak berbalik pergi saat tanpa sadar Jisun menarik lengan
kemeja putihnya.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Tuan?” Namja itu memperhatikan Jisun
dengan seksama. Ia menatap lurus kedua manik mata Jisun dan entah mengapa
seperti menemukan sesuatu di sana.
Mereka berdua nampak berpikir, mencoba mengais-ngais memori yang telah
berlalu. Satu detik, dua detik, keduanya masih bertatapan. Dan tepat di detik
ketiga, Jisun melepaskan genggaman tangannya di lengan sang namja. Ia ingat. Ia
mengingatnya.
“Kau kan...” Jisun kembali bergeming. Hingga kemudian ia mengubah ekspresi
wajahnya dan senyum yang terasa penuh kelegaan.
“Kita bertemu lagi. Annyeong Haseyo, choneun Han Jisun Imnida. Mannaseo
pangapseumnida.” Ujarnya sembari membungkuk sembilan puluh derajat. Awalnya
namja itu nampak masih sedikit bingung, hingga akhirnya kedua ujung bibirnya
tertarik ke samping. Ia tersenyum, “Nan...”
“Kim Kibum imnida.”
End of flashback
***
“Bagaimana mereka bertemu di perpustakaan hari itu mungin bagian dari
takdir yang akan mereka jalani. Terang saja, setelah itu mereka menjalin
hubungan yang menurut mereka mungkin hubungan terindah yang pernah mereka buat.
Paling tidak begitulah dari sudut pandang namja itu. Ia merasa menjadi pria
paling beruntung di dunia karena memiliki gadis itu sebagai gadisnya.”
Kibum kembali tersenyum, kali ini lebih lebar dan tersirat kebahagiaan di
sana. Ia setengah mati menahan diri untuk berbalik dan memeluk Jisun saat itu
juga. Ia hanya ingin menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara
mereka. Hanya itu. Sampai saat itu tiba ia tak akan mencoba menahan diri lagi.
Ia akan membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan hangat yang selalu
ditawarkan Jisun beberapa tahun belakangan ini. Hanya kepadanya.
“Namja itu selalu memuja sang gadis. Meskipun tak benar-benar
menunjukkannya, ia hanya berharap gadis itu dapat mengerti. Gadis itu selalu
berhasil membuatnya benar-benar merasa hidup setiap harinya. Tak ada hal
seremeh apapun yang tak berhasil membuatnya jatuh cinta padanya. Lagi dan lagi.
Sialnya, gadis itu tak pernah menyadari hal itu. Tak pernah tau sebesar apa rasa cinta yang
diberikan namja itu untuknya. Hanya untuknya, tak terbagi sedikitpun kepada
cinta yang lain.”
Kibum menarik nafas untuk kesekian kalinya. Ia hanya tak menyadarai, saat
itu Jisun tertegun. Ia tengah menggigit bibir setengah mati menahan isak yang
mungkin akan terdengar.
Kibum manarik nafas sekali lagi kemudian kembali melanjutkan narasinya,
“Gadis itu memanglah bukan gadis sempurna dambaan semua pria. Orang-rang banyak
yang mengatakannya aneh. Tapi bagi namja itu sebenarnya ia tak aneh, hanya unik
atau sedikit berbeda dari yang lain. Tapi ia menyukainya. Keunikan itu. Karena
laki-laki itu menyukai gadisnya apa adanya.”
“gadis itu kadang-kadang terlihat benar-benar dewasa dengang keanggunan dan
pemikiran yang ia miliki, tapi di sisi lain ia terlihat kekanakkan dengan
sifatnya yang ceroboh dan ucapannya yang blak-blakkan. Ia juga keras kepala dan
cerewet. Namja dan gadis itu nyaris memiliki sifat yang berkebalikan. Seperti
dua kutub magnet yang berbeda, meski berlawanan satu sma lain namun saling
tarik menarik dan sulit untuk dipisahkan.”
Kali ini Kibum tersenyum manis. “Namja itu suka setiap kali menatap gadis
itu dan mendapati semburat merah di kedua pipi pucatnya. Terlihat manis
sekali.dan hal sepele itu mampu membuatnya lupa akan segala hal. Seluruh beban
yang menghipit laki-laki itu seolah lepas begitu saja. Dan saat itu terjadi
sang pria hanya tersenyum sebagai balasannya.”
Jisun kembali mengingat hari-hari yang ia jalani bersama Kibum. Hari-hari
dimana hal tadi seringkali terjadi. Mereka saling bertatapan hingga akhirnya
Kibum tersenyum manis dengan senyuman yang paing ia sukai. Begitukah selama ini
Kibum menganggap dirinya. Seberhaga itu
kah? Kenapa ia dengan bodohnya tak mempercayai itu semua dan kalah oleh
ketakutannya sendiri. Jisun hendak bangun dan mungkin memeluk Kibum dari
belakang saat namja itu menyinggung sesuatu yang paling membuatnya sensitif
saat ini. Membuatnya mengurungkan niatnya dan kembali di posisi awal.
“Saat laki-laki itu menemukan gadisnya tak sadarkan diri di apartmennya, ia
merasa hancur. Ia mersa tak becus menjaga gadis itu dan membirkannya masuk
dalam situasi yang selalu menjadi hal terakhir yang diharapkannya saat melihat
gadisnya. Ia sangat ingin berada di samping gadis itu saat dirinya terbangun
nanti, namun sayangnya keadaan tidak mendukung hal itu terjadi. Seseorang yang
sangat berharga baginya meninggal. Membuat namja mau tak mau pulang ke Amerika
sebagai penghomatan terakhir untuknya.”
Jisun masih menyimak, ia tak pernah tau bahwa itulah alasan Kibum pergi ke
Amerika hari itu. Ia salah paham saat melihat foto Kibum berdua dengan mantan
kekasihnya yang diupload di jejaring sosial milik perempuan itu tepat di hari
Jisun siuman. Hal itulah yang membuatnya marah dan melakukan ini semua. Menjauh
dari Kibum dan kehidupan lama yang mungkin akan terus mengingatkannya pada
laki-laki itu.
“Seseorang itu adalah ayah Moonhwa.” Jisun menegang saat mendengar nama
itu. Jika selama ini kekhawatirannya ternyata benar, semua ini memang
berhubungan dengan gadis itu.
“Saat pergi ke sana dan bertemu kembali dengan gadis yang pernah mengisi
hatinya itu, namja tersadar. Sudah tak ada lagi ruang kosong yang tersisa untuk
gadis itu. Sama sekali tak ada. Moonhwa memang tak pernah menjadi tujuan
kepulangannya ke sana. Namun ayah Moonhwa adalah seseorang yang pernah menjadi
guru bagi namja itu yang mengajarinya banyak hal saat ayah namja meninggal
sejak ia kecil. Laki-laki itu sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.”
Jisun kembali merasa bodoh. Mengapa sedetik tadi ia kembali meragukan Kibum
setelah seluruh ketulusan yang ia tunjukkan. Mengapa ia bisa begitu egois.
“Namun itu adalah kesalahan namja yang dengan bodohnya tak meninggalkan
satu pesan pun untuk gadisnya. Tapi ia tak pernah melupakan gadis itu
sedikitpun. Ia selalu dibayang-bayangi rasa khawatir yang luar biasa besar
mengingat jarak yang memisahkan mereka. Namun saat ia pulang dan tak mendapati
gadisnya berada di tempat yang seharusnya, ia merasa hancur. Ia merasa
kehilangan pegangan untuk berdiri. Namun ia percaya takdir yang sudah membawanya
pada posisi itu tak akan terus-menerus menyiksanya. Ia sadar bahwa ia harus
berusaha keluar dari hal itu dengan menghadapinya dan mencari jalan keluar.
Bukannya lari seperti yang pernah ia lakukan dulu. Mungkin karena ia jauh lebih
dewasa sekarang.”
“Dan di sinilah namja itu sekarang. Ia ... ingin meminta maaf pada gadisnya.”
Kibum kemudian berbalik, dan di saat yang sama Jisun sudah tak mampu lagi
membendung isaknya. Ia bangun dari tidurnya dan menghadap Kibum dengan mata
berkaca-kaca. Mereka saling memandang untuk beberapa saat. Saling memuaskan
kerinduan yang selama ini menyiksa. Kedua ujung bibir mereka seolah tertarik
dengan sendirinya, melihat kembali senyuman yang selama ini seolah hilang dari
wajah mereka masing-masing, membuat keduanya sadar bahwa mereka tak bisa hidup
tanpa satu sama lain. Jisun melompat ke pelukan Kibum yang menyambutnya dengan
hangat. Seketika rasa gelisah dan gundah yag mendera melayang begitu saja ke
atmosfer.
“Mianhae.” Ucap Kibum di sela-sela pelukan mereka. Jisun hanya mengangguk
beberapa kali dalam dada bidang Kibum. Ia seolah kehilangan kemampuannya untuk
bicara saat itu.
“Hei Sun-ah, ceritanya belum selesai.” Mendengarnya Jisun melepaskan
pelukan itu. Ia menatap bingung pada Kibum yang tersenyum penuh arti.
“Mau dengar kelanjutannya?” tanyanya lembut. Jisun kembali hanya bisa
mengangguk beberapa kali. Ia tak bisa menebak apa yang akan terjadi berikutnya.
Tapi yang ia tahu ia akan mempercayai apapun yang setelah ini terlontar dari
bibir laki-laki yang selalu dicintainya itu.
Kibum beranjak dari tempat tidur. Ia berlutut di depan Jisun dan tersenyum
hangat sembari meraih tangan kiri Jisun dan menggenggamnya erat. Mungkin
setelah ini segalanya akan benar-benar menjadi lebih indah.
“Namja itu telah menetapkan sesuatu dalam hatinya. Jika ia kembali bertemu
dengan gadisnya maka ia akan bertanya. ‘Maukah kau menikah denganku? Menerimaku
dalam setiap kondisi, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, berjanji untuk
selalu mencintaiku dan menyayangiku dengan sepenuh hati sampai waktu yang
memisahkan kita?’ Menurutmu apa yang akan dikatakan gadis itu?”
Jisun bergeming, ia tak habis pikir dengan apa yang dikatakan Kibum
barusan, air mata kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya. Kali ini adalah
air mata kebahagiaan dan tangannya yang bebas menutup mulutnya yang menganga
tak percaya. Namun bisa ia pastikan saat ini ia adalah wanita paling bahagia di
dunia.
Gadis itu menarik nafas beberapa kali, mencoba menenangkan degup jantungnya
yang tak terkontrol, bagaimanapun ia harus menjawab pertanyaan itu.
Ia menghela nafas sekali sebelum menjawab, “Gadis itu menjawab ... ‘ya’.”
Masih dengan senyum lebar yang sama, Kibum mengeluarkan sesuatu dari
sakunya dan membuka kotak beludru hitam itu. Di dalamnya terdapat sebuah cincin
emas putih yang berkilauan, beberapa saat kemudian cincin itu telah berpindah di
jari manis tangan kiri Jisun. Di tempat ia seharusnya berada. Dari seorang pria
yang mencintai gadisnya. Sebagai bukti akan ada ikatan lain yang akan mengikat
mereka setalah ini.
Matahari musim semi yang membias di jendela menerangi keduanya yang saling
berpelukan. Bukankah mentari di musim semi adalah yang paling menenangkan?
Membuat nyaman. Hangat, namun tak terlalu panas hingga bisa membakarmu.
~~~
“Mbum-ah,
bukankah saat yang kutunggu telah tiba. Kau sudah menjadi kebutuhan primerku.
Tidak, mungkin sudah semenjak beberapa tahun yang lalu, tapi kau tau kan aku
tidak pintar. Kurasa aku hanya terlalu bodoh untuk menyadarinya.”
“Ya,
kau kan memang bodoh.”
“YAK!”
“Kau
bodoh karena tak menyadari ada orang bodoh lainnya yang mencintaimu hingga
membuatnya gila setengah mati.”
“Jadi
kau mengakui bahwa kau bodoh?”
“Tidak,
laki-laki itulah yang bodoh.”
“Hah?
Bukankah laki-laki itu kau?”
“Memangnya
aku pernah bilang seperti itu?”
“YAK!
Kau cari mati?”
“HAHAHA!
Kau lucu sekali Sun-ah. I love you.”
“...”
“Wae?
Hei lihat wajahmu memerah. Kau manis sekali. Boleh aku menciummu?”
“Yak
hentikan, jangan menggodaku lagi.”
“Aku
senang akan melihat wajah itu di hari-hariku yang akan datang.”
“Apa
maksudmu? Kita kan belum menikah. Lagipula aku masih ingin menikmati musim semi
tahun ini dengan kesendirian.”
“Hei,
kau ingin mencampakkanku lagi?”
“Hahaha.
Sekarang kita satu sama. Hei Mbum-ah, tidakkah kau sadar, kita selalu
berhubungan dengan musim semi. Kita pertama bertemu di musim semi, pertemuan
kedua juga di musim semi, dan sekarang kau melamarku di musim yang sama. Seperti
inikah yang disebut takdir.”
“Hmm,
kau benar juga. Kalau begitu kita akan menikah musim semi tahun depan. Tapi Sun-ah,
tidakkah itu terlalu lama.”
“Tidak
juga.Itu akan membuat kisah kita semakin dramatis kan? Aku menyukainya.”
“Tidak
tidak, itu terlalu lama. Kita akan menikah di penghujung musim semi tahun ini.”
“Baiklah,
kita menikah di penghujung musim semi tahun ini.”
“Betul
sekali.”
“Atau
mungkin musim semi tahun depan.”
“Hei!.”
“Hahaha.
Aku semakin menyukaimu.”
“Aku
juga. Sekarang boleh aku menciummu?”
“...”
FIN.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
p.s.
Namja : laki-laki (korea)
Sebenarnya ff ini udah kubuat dari sekitar dua atau tiga tahun yang lalu waktu kelas 10 pokoknya. Aku inget banget idenya kudapat waktu jalan kaki pulang ke rumah dari sekolah. Dan akhirnya beginilah jadinya, 60% ceritanya udah kubikin dari waktu itu, 40 % sisanya baru beberapa hari ini kurampungkan.
Judul awalnya adalah Kibum Jisun, tapi di tengah-tengah pembuatan ngerasa kalo judul itu cheesy banget. Akhirnya pas pembuatan cover yang ala kadarnya dapatlah ide untuk ngasih judul itu. BTW, nama Kibum sendiri bisa diartikan musim semi a.k.a spring, jadi nggak jauh melenceng dari judul awalnya kan, karena sun and spring adalah unsur dari nama mereka berdua.
Belakangan ini aku emang jarang banget bikin ff, karena bisa dibilang udah nggak punya passion ke k-pop. Tapi nggak tau kenapa aku selalu semangat kalo ngebuat couple ini. Mungkin karena pada dasarnya Kibum nggak mengacu pada Kibum suju, tapi pada seseorang yang dulu emang pernah aku suka. Well justru aku suka Kibum karena aku suka dia, *mungkin.
Soalnya sifatnya mirip banget sama Kibum, tapi itu udah lama banget, aku nggak suka dia lagi karena ada orang lain yang aku taksir. wkwkwk kok aku jadi malah curhat gini ya.
Tapi sekalian aja deh. Sebenarnya dua tahun ini, tepatnya dari kelas 11 aku suka dia, dan karena belakangan ini udah liburan nggak pernah ketemu lagi, kayaknya rasa suka ke dia udah ilang gitu aja. Jujur, rasanya kangen sekolah. Asik aja gitu ngerasain malu-malu, deg-degan ke orang itu. Biar cuma cinta terpendam. WKWkwkwk. Kayaknya hampir semua cewek SMA pernah ngerasain hal ini deh. Jadi begitulah,,,
Karena udah nggak sekolah kemaren coba-coba nyari arsip cerita yang mungkin layak publish. Karena sebenarnya aku banyak bikin crita-cerita tapi kebanyakan nggak selesai dan akhirnya dibiarkan nganggur gitu aja. Efek mood yang cepat berubah.
Ini juga ngeditnya cuma sekilas jadi mohon maaf kalo typo masih bertebaran dimana-mana.
At least, hope you enjoy. :) And thx for reading :D
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Komentar
Posting Komentar