Story About Us part 8
Hohoho........ dan part 8...
Hm,, G' usah banyak omong, langsung baca ajja...
::) Let's check this out!!!
Story starts...
Author POV
Eunra duduk sendiri memandang cangkir teh kosong didepannya, meskipun begitu pikirannya sama sekali tak berhubungan dengan cangkir teh kosong itu. Semuanya mengenai pada pertemuannya dengan cowok imut bernama Sungmin tadi. Entah mengapa wajahnya terasa familiar. Dia merasa pernah melihatnya sebelum ini, tapi terasa sudah lama sekali. Entahlah, apa memang ingatan Eunra yang terlalu lemah atau factor lainnya yang tak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan modern. Yang pasti Eunra rasa ini bukanlah pertemuan pertamanya dengan Sungmin.
“Permisi, agaesshi! Ada yang mau dipesan lagi?” dengan sopan seorang waitress menegur Eunra. Membuyarkan semua pemikiran tentang Sungmin dan membuat Eunra sedikit terkejut. Ia mendongak menoleh pada waitress berpakaian rapi yang sedang tersenyum ramah. “Eh? Hmm,,, aku mau yang itu!” tangan Eunra menunjuk pada salah satu hidangan di meja sebelah. “Dan tehnya satu lagi.” Tambah Eunra. Waitress itu mencatat beberapa kata di buku catatannya kemudian tersenyum ramah dan melenggang pergi.
“Siapakah dirimu sebenarnya, Lee Sungmin-ssi? Mengapa aku merasa pernah melihatmu sebelumnya?” Gumam Eunra pelan.
Tiba-tiba terdengar suara alunan music merdu dari dekat Eunra.
Shining Star! like a little diamond, makes me love
Naegen kkoomgyeolgateun dalkomhan misoro nal barabomyeo soksagyeojweo
Hangsang hamkke halgeora till the end of time
Oh! Day by Day hangsang nae gyeote geudaega meomoolleo jweo
Stay in my heart noonbooshin Shining my love
Eunra celingak-celinguk memperhatikan sekitarnya, mencari sumber suara itu. Kemudian matanya tertuju pada benda kotak berwarna soft pink yang tergeletak tak berdaya di bawah meja. Sedikit ragu diulurkan tangannya untuk menggapai benda yang notabene Handphone Blackberry bold dengan kondom silicon berwarna pink yang mendominasi warna HP yang pada dasarnya berwarna hitam mengkilap. Setelah itu diperhatikan layar HP yang menampilkan sebuah kontak yang sepertinya dari telepon umum. Dengan sedikit ragu Eunra menekan tombol hijau dan mulai menempelkan Hp itu ditelinganya.
“Yeo… yeoboseyo.” Dengan sedikit takut, Eunra menjawab telepon itu.
“Permisi, saya yang punya HP itu. Aku kehilangannya. Bisakah kau beritahu dimana kau menemukannya dan dimana aku bisa mengambilnya?” Eunra sedikit kaget. Dia pikir Hp ini milik perempuan tapi dari suara yang terdengar sangat jelas pemiliknya bukan berjenis kelamin perempuan.
“Tapi rasanya suara ini familiar” pikir Eunra.
“Agaesshi!” tegur pria di seberang sana menyadarkan Eunra dari lamunan singkatnya.
“Eh, di Mochapu café.” Kata Eunra setelah berpikir beberapa saat.
“Kalau saya boleh tahu, bagaimana ciri-ciri nona?” suara di deberang sana bertanya.
“Aku… berambut pendek, memakai hoodi warna pink. Kalau tuan ingin menemui saya di café ini sekarang, saya duduk di sebelah kanan dari pintu masuk dan di dekat jendela!” jelas Eunra singkat, padat, nggak tau jelas atau enggak. Dan bisa dibayangkan lelaki di seberang sana manggut-manggut mengerti. Meskipun tentunya tak dapat dilihat oleh Eunra.
Eunra memperhatikan lekat-lekat handphone di tangannya. Sudah 10 menit berlalu semenjak telpon dari pemilik Hp ini masuk. Sama sekali belum ada tanda-tanda datangnya sang pemilik. Apakah orang itu terlalu baik sehingga meninggalkan Hp ini padanya? Tapi Eunra masih sedikit heran dengan Hp ini. Pemiliknya laki-laki tapi Silikonnya warna pink. Setahu Eunra, baik di Korea maupun di Indonesia pink itu agak tabu untuk laki-laki.
Eunra menggerak-gerakkan Handphone itu dan berbicara padanya. Aneh memang, tapi setidaknya itu bisa membantunya menghabisakan waktu untuk menunggu pria pemilik HP ini. “Hey, handphone! Apa benar pemilikmu seorang laki-laki? Kenapa dia memakaikannmu kondom warna pink? Itukan aneh! Masa’ ada cowok suka pink?”
“Memang ada.” Sebuah suara yang tak asing di telinga Eunra menyahut dari belakang. Eunra memutar kepalanya ke belakang dan mendapati sosok yang amat dikenalnya melangkah kearahnya.
“Contohnya aku, hei nona yang menemukan Handphoneku!” pria itu semakin mendekat dan kini duduk dihadapan Eunra. Ia tersenyum dan disambut tatapan konyol dari kedua mata Eunra.
“Agaesshi, jangan menatapku seperti itu! Kau mungkin heran karena aku suka warna pink, tapi inilah aku!” tutur pria itu dengan lembut. Dengan sedikit bingung Eunra menyodorkan HP ‘Pink’ itu.
“Sungmin-ssi! Maafkan aku jika aku menyinggungmu. Aku tidak bermaksud!” Eunra menundukkan kepalanya dalam-dalam dan jarak antara hidungnya dengan meja kira-kira hanya 5 cm. Eunra menggigit bibir bawahnya dan mengatupkan kedua matanya rapat-rapat. Ia benar-benar takut menyinggung perasaan namja yang baru dikenalnya kurang dari satu jam yang lalu ini.
“Geumanhae! Eunra-ssi! (sudahlah! Eunra-ssi!) Aku sudah biasa disinggung seperti itu!” Ujar Sungmin yang bukannya menenangkan hati Eunra justru membuatnya semakin merasa tidak enak. Melihat itu, Sungmin memajukan badannya ke depan dan menjulurkan tangannya. Ia meraih dagu Eunra yang membuat tatapan mereka bertemu. Seketika pipi Eunra bersemu merah. Dan Sungmin hanya tersenyum melihat pemandangan itu.
“Jangan merasa tidak enak karena hal seperti ini! Aku sama sekali tidak merasa tersinggung.” Ujarnya kemudian kembali ke posisi semula.
“Oh ya, agar lebih akrab, tidakkah sebaiknya kau kupanggil Noona?” Eunra sedikit kaget mendengar pertanyaan Sungmin ini.
“Noona?” Eunra bertanya menyakinkan? Dan dijawab dengan anggukan singkat oleh Sungmin.
“Memangnya kau kelas berapa?” Tanya Eunra.
“3 SMA.” Jawab Sungmin singkat.
“HAH? Kurasa kau tak perlu memanggilku Noona. Karena kita seumuran. Apakah aku terlihat setua itu?” Ucap Eunra sembari memegang kedua pipinya.
“Ah. Aniyo! Bukan begitu! Hanya saja kau memakai pakaian bebas. Lagipula kau tidak sekolah. Sekarang kan masih jam sekolah. Dan setahuku tidak ada sekolah yang memberikan libur pada bulan-bulan seperti ini.” Sungmin menjelaskan dengan perasaan tidak enak.
“Ah itu karena aku sedang liburan. Eh… lebih tepatnya izin. Lagipula aku tidak tinggal di Korea.” Jelas Eunra.
“lalu, kau tinggal dimana?”
“Indonesia. Oh iya, Sungmin-ssi, dari tadi ada yang ingin kutanyakan padamu. Kau tidak sekolah?”
“Ani.”
“Wae?”
“Ada sesuatu terjadi di sekolah sehingga terpaksa memulangkan para murid lebih cepat.”
“Owh, kalau boleh tahu, apa itu?”
“Mianhae, ini masalah internal sekolah kami. Jadi aku tidak bisa memberitahumu. Mian!” Sungmin tersenyum setelah mengatakan itu. Eunra hanya mengangguk-angguk mengerti tapi entah mengapa matanya tak bisa lepas dari senyuman penuh karisma yang dipertontonkan oleh Sungmin.
“Eunra-ya! Kau suka teh disini, ya?” Tanya Sungmin mengubah topic obrolan.
“Eh, bagaimana…” belum sempat Eunra menyelesaikan pertanyaannya Sungmin menunjuk pada dua cangkir kosong di depan Eunra dan itu menjawab pertanyaan yang tadinya hendak dilontarkannya kepada Sungmin.
“Hm, yasudah ya! Aku harus pergi sekarang. Masih ada urusan.” Pamit Sungmin seraya berdiri dari duduknya. Namun dengan sedikit sangsi dan ragu Eunra mencegah kepergian Sungmin. “Tunggu!” dengan sedikit heran Sungmin kembali ke posisi awalnya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Bisakah aku minta nomor HP mu?” pinta Eunra sedikit ragu. Pertanyaan itu membuat Sungmin sedikit terkejut.
“Untuk apa?” Dengan sedikit bingung Sungmin bertanya.
“Ah… aku tahu. Kau mulai tertarik padaku, ya?” goda Sungmin yang membuat Eunra menggelengkan kepalanya cukup kencang.
“Aniyo, kau salah paham. Aku hanya ingin minta agar bisa mengembalikan ini.” Sedikit panic Eunra menarik sedikit kain Jaket yang masih melekat di tubuhnya.
“Hm, biar aku saja yang minta nomormu. Ini…” Sungmin menyodorkan Hp ‘pink’ nya pada Eunra. Tatapannya mengartikan agar Eunra memasukkan nomornya disitu. Perlahan tangan Eunra terangkat dan meraih HP itu. Setelahnya Jari-jari Eunra bermain diatas Keypad blackberry itu mengetikkan beberapa digit angka yang sudah dihapalnya diluar kepala.
“Ini!” ujar Eunra sambil mengembalikan HP itu. Masih dengan tersenyum, Sungmin mengambilnya. Mengklik pilihan untuk menyimpannya dan mengetikkan nama Eunra di kolom nama kontak. Dia kembali tersenyum setelah sebelumnya berpamitan lagi. Dan kini langkahnya berderap pelan menjauhi Eunra yang masih enggan beranjak dari posisinya. Rasanya ia masih ingin menikmati suasana café ini sebentar lagi.
~~~
.: Shin Myeong (SM) Senior High School, 18th of March 2011 :.
“Tentukan modal akhir sebuah modal sebesar ₩5.000.000,00 jika modal diperbungakan selama 3 tahun dengan dasar bunga majemuk 2% tiap setengah tahun! Hmm??...... ARGHH!!!” Hyoran mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Terhitung sudah ke lima kalinya ia membaca ulang soal di buku detik-detik ujian matematika miliknya, namun sama sekali tak dapat ia ditangkap maksud dari soal ini. Satu-satunya yang dia ketahui adalah bahwa dia –Kim Hyoran- seorang murid kelas 3 Shin Myeong senior highschool adalah tipikal anak sekolah yang amat sangat membenci pelajaran bernama ‘Matematika’.
Hyoran melirik teman sebangkunya yang kini tengah asyik membaca komik. Sebuah ide terbesit di kepalanya. Seketika tangannya bergerak dan mengguncang-guncang lengan temannya itu yang ternyata adalah Jisun.
“Ji~, kamu kan pernah ikutan olimpiade MTK, jadi kamu pasti tahu cara ngerjaen soal ini, kan?” Tanya Hyoran sambil menunjuk soal yang sudah membuatnya uring-uringan setengah mati. Jisun mendengus kesal kemudian meletakkan komik yang sedang asyik dibacanya.
“Sini! Mana?” Jisun merebut buku dari tangan Hyoran kemudian menatap lekat-lekat soal yang ditunjuk oleh Hyoran.
“Oh, ini begini! Misalnya kan bunga dari bank p% dan modal awal adalah M, jadi bla… bla… bla… bla… dst… Ngerti nggak?” Jisun menarik nafas lega sembari mengakhiri penjelasan panjangnya. *Bneran dech, soal tentang ini itu penjelasannya panjang banget. Ini pelajaran klas 3 SMA. Sengaja aku nggak beneran tulis coz aq jga bingung bkin kata-kata yg gmpang dmengerti,, -curcol- ^^* Tapi kemudian desahan nafas lega itu berganti dengan decakan kesal saat matanya menangkap gesture Hyoran yang mengisyratkan ketidakmengertian. Yupz, Hyeoran menggelengkan kepalanya dengan wajah tanpa dosa.
“Aiiia!! Ran-ah, kau ingin membuatku stress, ya? Neo jeongmal!” seru Jisun dan lagi-lagi Hyoran menatapnya dengan tatapan polos tak berdosa.
“Jisun-ah, Jebal!! Chingu cohtaneun ge mweoya? (Ayolah, kita temankan?) Jelasin lagi! Yayayayaya!!” pinta Hyoran sedikit memaksa.
“Hmm,,” jisun hanya bergumam pelan. Tapi tak urung mulutnya melontarkan kata demi kata penjelas dari soal itu. Sesekali Hyoran bertanya tentang hal yang tak dimengerti olehnya.
“Huft! Jeongmal kamsahamnida, Jisun-ssi! Kau benar-benar penolongku.” Ujar Hyoran dengan gaya aegyo yang dibuat-buat. Setidaknya penjelasan kedua ini lebih gampang diterima oleh otaknya daripada yang pertama.
“Ne.. ne… ne.. aratseo! Aku kan emang baik. Hehehe.” Balas Jisun tentu saja dengan membanggakan dirinya yang memang selalu narsis.
“hahaha, iya sudah.” Setelah mengatakan hal tersebut Hyoran kembali tenggelam dalam aktifitasnya mengerjakan soal pada buku detik-detik.
Tiba-tiba bel pulangan berbunyi, Jung songsaenim mengucap salam kemudian melangkahkan kaki keluar dari kelas Hyoran dan Jisun. Sama seperti siswa lainnya, Jisun membereskan buku-buku yang bertumpuk diatas meja masing-masing. Sedangkan Hyoran masih saja asik berkutit dengan soal-soal membingungkan itu. Gadis ambisius ini benar-benar ingin paham dengan pelajaran matematika juga ingin mengalahkan ketidaksukaannya dengan pelajaran ini.
~~~
Siwon berjalan pelan kearah lapangan parkir, pikirannya sedang kalut sekarang ini. Kejadian di kantin pada istirahat tadi benar-benar membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Ryeowook dan Chaerin mengobrol akrab. Terlebih ekspresi kegembiraan yang memancar dari keduanya benar-benar membuat emosi Siwon naik-turun.
Siwon memejamkan matanya dan menengadahkan wajahnya ke atas mencoba melupakan kejadian siang tadi. Namun justru ingatannya kembali pada saat Ryeowook memeluk Chaerin di waktu itu. Ingatan tentang mereka berdua tiba-tiba saja berkelebat di ingatan Siwon membuat namja itu sedikit merasa pening. Ia membuka matanya dan menatap lurus ke depan. Tangan kanannya asyik memijat-mijat dahinya berusaha meredakan pening yang mendera. Siwon benar-benar butuh untuk me-refreshkan pikirannya sekarang ini.
Kaki Siwon berderap pelan di lorong sekolah yang sudah cukup sepi. Bel pulang sekolah sudah berbunyi semenjak 30 menit yang lalu. Tapi entah mengapa sama sekali tak dirasakannya keinginan untuk pulang. Apalagi dirumah Hana terus-terusan mengomel dan merajuk pada Umma mereka agar perjodohannya dibatalkan. Dan hal itu sangat-sangat ribut dan mengganggu untuk seorang Choi Siwon.
Langkah Siwon terhenti di depan sebuah kelas. Matanya melirik kearah dalam dan terfokus pada seorang gadis berambut pendek yang sedang sibuk dengan buku dihadapannya. Ia terdiam sejenak dan terus memandang gadis itu. Tatapannya menembus jendela kaca berwarna bening yang bertengger rapi di sisi luar dari kelas itu. Kini sebuah ide tengah melintas di kepalanya, segera dilangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas itu dan sebisa mungkin tak menimbulkan suara agar gadis tadi tak mengetahui kedatangan Siwon.
“Kim Hyoran!” Seru Siwon pelan saat jaraknya dengan Hyoran hanya terpaut 2 meter. Namun telinga tajam Hyoran mampu mendengar suara yang mungkin frekuensinya kurang dari 100 Hz itu.
“Neo? Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Hyoran ketus kemudian kembali focus pada buku di depannya.
“Yak, neo! Cepat bereskan barang-barangmu sekarang!” perintah Siwon dengan sedikit kesan memaksa pada Hyoran. Namun perintahnya ini tak cukup membuat Hyoran berkutik dan tetap bertahan dalam posisinya.
“Apa hakmu memerintahku seperti itu, Mr. Choi?” ujar Hyoran. Seakan kebal dengan sifat Siwon yang seperti ini, membuat Hyoran tetap bergeming dan konsentrasi dengan kegiatannya. Mungkin jika hal ini terjadi dulu, Hyoran pasti akan segera melakukan perintah Siwon. Tapi itu ‘dulu’, saat Hyoran masih memiliki rasa hormat dan segan pada namja ini. Sekarang? Apa yang dirasakan Hyoran tak lebih dari perasaan kesal dan jijik pada sifat Siwon yang baru diketahuinya belakangan ini.
“Cish, Kim Hyoran, kau tak tahu siapa aku?” cibir Siwon yang sudah mulai naik darah karena reaksi Hyoran yang tak mengindahkan perintahnya.
“Neo? Apa yang kau maksud presiden sekolah? Kurasa semua orang tahu dengan posisimu itu. Tapi sayangnya masa jabatanmu sudah habis, Mr. Choi. Dan kurasa kau tak berhak lagi mengakui jabatan itu sebagai milikmu. Bukankah sekolah kita sudah mengadakan pemilihan lagi, dan yang terpilih jadi presiden sekolah adalah Lee Chihoon dari kelas XI-1.” Tutur Hyoran sambil membenarkan letak kacamata berbingkai penuh yang bertengger di hidungnya. Perkataannya barusan benar-benar sudah membuat emosi Siwon naik ke ubun-ubun. Sehingga cowok itupun tak tinggal diam, dia segera berjalan kea rah Hyoran dan membungkam mulut cewek itu saat bibirnya hendak bergerak untuk mengeluarkan argument-argumen yang akan semakin memojokkan Siwon.
“Hmmph…..” Hyoran berontak dengan mencengkeram erat pergelangan Siwon. Tapi sayangnya tenaga cewek itu terlalu lemah untuk melawan Siwon yang kekar. Merasa cukup memberi pelajaran pada Hyoran, Siwon melepaskan tangannya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Hyoran. Perlakuannya itu menimbulkan semburat kemerahan di wajah putih Hyoran. Cewek itu speechless seketika, walau bagaimanapun perasaannya pada cowok ini belum bisa terhapuskan sepenuhnya.
“Aku bilang bereskan barangmu sekarang juga dan ikut aku!” Perintah Siwon dengan penekanan di setiap katanya. Entah mengapa Hyoran hanya mengangguk pelan. Tangannya bergerak-gerak memasukkan semua barang di atas meja secara asal. Inikah yang namanya cinta? Sekeras apapun Hyoran menyangkalnya pada akhirnya ia tak mampu melawan pesona Namja yang dijuluki pangeran ini.
Keduanya melangkah dalam kebisuan. Tak ada seorangpun dari Hyoran maupun Siwon yang berinisiatif untuk memulai pembicaraan. Hingga akhirnya langkah kaki mereka telah sampai di area parkir Shin Myeong High School. Siwon mendahului Hyoran menuju mobil Audi hitam miliknya. Ia masuk dan mulai menyalakan mesin yang menderu halus. Suara mobil itu sedikit mengagetkan Hyoran yang pikirannya sedang tidak terfokus.
“Kim Hyoran, ppali! (cepat) Masuklah!” Seru Siwon dari dalam mobil.
“Ne! Ne!” Hyoran menjawab lemah dan membuka pintu. Ia segera masuk dan duduk di kursi samping kemudi.
“Eh, Siwon-ssi! Memangnya kita mau kemana?”
“Lihat saja nanti! Sekarang pasang sabuk pengamanmu karena aku akan sedikit ngebut dan perjalanan ini akan menempuh waktu yang cukup lama!” ucap Siwon datar dan mulai menstarter mobil mewah itu. Hyoran hanya melakukan kata-kata Siwon dalam diam. Moodnya untuk berbicara sepertinya sekarang sudah hilang tanpa bekas. Dan kini ia benar-benar mengantuk.
~~~
“Kim Hyoran, ireona!” Siwon membangunkan Hyoran dengan sedikit mengguncang-guncang lengannya. Hyoran menggeliat pelan dan merenggangkan kedua tangannya. Matanya mengerjap-ngerjap mencari kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Dan saat kesadaran itu sudah terkumpul, ia teringat satu hal.
“AAA~ Ini dimana?” pekik Hyoran saat melihat pemandangan yang terhampar di depannya. Ia mencubit lengannya mencari tahu apakah ini nyata ataukah hanya mimpi. Namun ini semua kenyataan. Ia membuka pintu mobil dan berjalan keluar, matanya tak masih tak bisa lepas dari hamparan padang rumput hijau yang amat menyegarkan mata.
“Woa!! Ini… dimana?” gumamnya pelan.
“Kita ada di luar kota.”
“Diluar kota, ya?” Hyoran mengangguk-angguk paham sebelum akhirnya ia sadar.
“MWOYA? LUAR KOTA?” pekik Hyoran sedikit berteriak. Ia melotot kearah Siwon kemudian membuka mulutnya untuk mulai mengomel lagi. Namun sebelum sepatah katapun terucap dari bibir Hyoran, Siwon melangkahkan kakinya meninggalkan Hyoran dengan mulut terbuka. Laki-laki itu berjalan ke arah puncak bukit di tengah padang. Ia membaringkan badannya yang kelelahan di atas rumput yang sedikit lembab. Entah mengapa pemandangan itu membuat Hyoran tergoda untuk melakukan hal yang sama. Ia melangkahkan kaki mungilnya dan duduk tepat di samping Siwon. Matanya sedikit melirik pada Siwon yang tengah memejamkan kedua matanya.
Kedua ujung bibir Hyoran tertarik keatas membentuk sebuah cekungan indah bernama senyum. Entah mengapa situasi sekarang ini benar-benar membuat Hyoran selalu ingin tersenyum. Ia mendongakkan kepalanya keatas dan membiarkan kedua mata sipitnya menikmati simfoni awan jingga kemerahan di langit. Setelah itu matanya terpejam dan tanpa sadar kedua tangannya terangkat ke samping. Dinikmatinya semilir angin yang bertiup melewatinya. Seketika kesejukan merayapi tubuh Hyoran.
“Bagaimana pendapatmu tentang tempat ini?” Hyoran membuka matanya kemudian melirik ke samping. Kini Siwon tengah duduk dan memandang lurus ke depan.
“Kalau kau tanya pendapatku tentang tempat ini, menurutku…” Hyoran berhenti sebentar untuk memikirkan kata-kata yang tepat.
“So Beautiful. Entahlah, aku bingung bagaimana menyampaikannya dengan kata-kata. Tempat ini tak hanya sekedar indah.” Sambungnya dengan pandangan menerawang.
“Oh ya, Choi Siwon-ssi, mengapa kau membawaku ke tempat ini?” tanya Hyoran akhirnya.
“Entahlah! Nado molla. (Aku juga nggak tahu).” Ujar siwon seraya mengangkat kedua bahunya. Ia sendiri juga bingung dengan kelakuannya yang mengajak Hyoran kesini. Tapi mungkin alasan sesungguhnya adalah karena otaknya sudah mulai error. Bahkan mungkin sudah menular ke tubuhnya. Belakangan ini tubuhnya bekerja tanpa perintah. Dan untuk saat ini satu-satunya hal yang bisa ia simpulkan tentang penyebab semua ini adalah putusnya Ia dan Chaerin.
Drrt… Drrt… Drrt… Hyoran merasakan sesuatu yang bergetar di kantong blazer seragamnya. Tangannya bergerak-gerak mencari benda itu. Dilihatnya layar benda itu tertulis sebaris kata.
Kangin Oppa Calling.
Dengan reflex ditekannya tombol hijau pada keypad dan menempelkan HP itu di telinga kanannya.
“Yeoboseyo.”
“Yak! Saeng-ah, Niga eodiesso? (Kau dimana?)” suara berat di seberang sanan terdengar khawatir.
“Eh, aq ada di suatu tempat.” Hyoran berusaha menyembunyikan tempatnya kini berada karena takut Oppanya ini marah mengingat watak Oppanya yang memang temperamen.
“Yasudah ya, Oppa! Aku akan pulang sekarang! Annyeong!” Hyoran segera menutup telpon. Mencegah timbulnya kemungkinan ia akan dimarahi. Ia beranjak dari duduknya kemudian menengok pada Siwon yang memandangnya dnegan tatapan heran.
“Choi Siwon, ayo kita pulang sekarang! Oppaku mencariku!” siwon masih bergeming. Ia sama sekali tak berpikir untuk bergerak dan pulang. Dengan sebal, Hyoran menarik tangan Siwon menuju mobil Siwon yang terparkir dengan rapi di pinggir jalan.
“Berapa lama perjalanan ke Seoul?” tanya Hyoran saat keduanya sudah duduk dalam mobil.
“Sekitar satu setengah jam kalau ngebut.” Jawab Siwon sambil menyalakan mosin mobil yang mulai menderu pelan.
“Kalau begitu ngebutlah!” Dan seketika itu mobil itu berjalan dengan kecepatan lebih dari 100 KM per Jam.
~~~
“Donghae-ya! Bagaimana kabar sekolahmu? Apakah semua baik-baik saja?” Tanya ibu tiri Donghae saat keluarganya tengah menikmati makan malam. Donghae terlihat tidak peduli seakan-ekan pertanyaan itu bagaikan angin lalu. Ia diam, terus saja berpura-pura menikmati makan malam. Padahl perasaannya muak. Ia tidak suka ada orang asing di rumahnya, meskipun sudah terhitung setengah tahun dari saat ayahnya menikah lagi.
“Ehm,” Appa Donghae berdehem cukup keras. Ia hanya tidak ingin istri barunya ini sakit hati. Ia sangat yakin bahwa tadi Donghae mendengar pertanyaan istrinya yang dirasa sangat jelas.
“Masalah sekolahku itu bukan urusanmu!” Ujar Donghae ketus yang menyadaari isyarat dari ayahnya. Kata-kata itu ditujukan tentu saja kepada wanita yang tak pernah dianggapnya sebagai ibu. Namun sayangnya kenyataan terkadang tak sesuai dengan keinginan. Sekeras apapun Donghae menentangnya, status wanita ini tetaplah Ibu bagi Donghae, meskipun dengan embel-embel ‘tiri’ di belakangnya.
“Donghae-ya! Apa kau pikir jawabanmu itu sudah cukup sopan untuk berbicara pada seseorang yang tak lain adalah Ibumu?” Appa Donghae mulai membuka suaranya. Tentu saja dengan nada datar dan penekanan di setiap katanya.
Donghae menaikkan salah satu ujung bibirnya. Membentuk sebuah senyuman sinis yang terkesan sedikit merendahkan. “Cish, Ibu? Wanita ini bukan ibuku, dan tak akan pernah menjadi Ibu…”
PLAKK!!!
Belum sempat Donghae menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan besar mendarat dengan kasar di pipi kanan namja itu. Untuk sesaat Donghae membeku, namun kemudian senyuman sinis lagi-lagi tersungging di wajah tampannya. Tangannya bergerak mengelap cairan merah yang merembes dari ujung bibirnya.
“KAU TIDAK BERHAK BERBICARA SEPERTI ITU, LEE DONGHAE!” Appa Donghae berteriak pada anak laki-lakinya ini. Hal itu justru membuat atmosfer yang tadinya kelam menjadi bertambah kelam. Semua orang di ruangan itu terdiam menyadari aura peperangan di antara keduanya.
“Yeobo, geumanhae! Jangan sekasar itu pada Donghae!” wanita itu membujuk appa Donghae sambil mengelus punggung Appa Donghae lembut. Sedikit berharap tindakan itu mampu memadamkan api kemarahan pada pria ini.
“Huh, jangan berlagak baik dengan pura-pura membelaku!” Cibir Donghae membuat api kemarahan pada Appanya yang tadi sedikit mereda kembali membara. Tangan pria itu terangkat lagi. Hendak melakukan hal yang sama yang dilakukannya tadi.
“Geumanhae yeobo!” dengan nada memohon wanita itu berhasil menggagalkan niat Appa Donghae untuk menamparnya. Hal itu membuat Donghae kesal dan berdiri dari duduknya. Ia sedikit melirik pada Appa dan Wanita disampingnya dengan tatapan kebencian. Kemudian pandangannya beralih pada namja di sampingnya yang terlihat cuek dan tak peduli dengan segala hal yang tadi berlangsung. Ia dengan tenangnya menikmati suguhan di atas piring di depannya. Dan hal itu membuat Donghae sedikit kesal.
Donghae berjalan pelan menuju pintu. Satu-satunya yang ingin dilakukannya sekarang adalah pergi dari rumah ini yang rasanya sudah tak ada kedamaian baginya. Ia menutup pintu depan dengan kasar kemudian sedikit berlari menuju pagar besi rumah besar itu. Entah apa yang akan dilakukannya nanti, tapi rasanya dia benar-benar akan berpikir gila dan nekad untuk kabur dari rumah besar itu.
Udara malam kota Seoul yang dingin sedikit menusuk bagian tubuh Donghae yang tak tertutup kain. Kini ia memang hanya mengenakan kaus oblong warna biru gelap dengan celana jins ¾. Ia sudah tidak peduli lagi dengan rasa dingin itu. Kulitnya seakan mati rasa karena rasa sakit dalam hatinya justru membuatnya tak merasakan apapun di sekelilingnya.
Ia terlanjur sakit hati dengan sikap Appanya yang lebih memilih Ibu tirinya dan juga pengkhianatan Appanya pada mendiang Ibu kandung Donghae. Donghae terduduk di trotoar jalan sebelah kanan sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang. Meski begitu pikirannya sama sekali tak relevan dengan apa yang dipandanginya. Ia terus terbayang-bayang kejadian beberapa tahun silam saat Ibunya harus dipangggil Yang Maha Kuasa.
Saat itu Appanya terduduk dan menangis di depan makam Ibunya sambil terus bergumam, “Yeobo! Jangan tinggalkan aku! Aku takkan meninggalkanmu! Aku akan terus mencintaimu selamanya.” Sedangkan Donghae yang masih polos hanya bisa memandangi Appanya yang seakan kehilangan semangat hidup. Namun itu hanya kejadian di masa lalu. Nyatanya Appanya tak berhasil menepati janji kosong itu. Kini cinta itu bukan lagi untuk Ibu Kandungnya seorang, namun terbagi atau mungkin berpindah pada seseorang yang terpaksa diakuinya sebagai ‘Ibu Tiri’.
Donghae kembali melanjutkan perjalanannya. Dengan sedikit tertatih, ia terus memandang kosong ke depan. Pikirannya kalut, semuanya melulu tentang dirinya, Ibu kandungnya dan Appanya di masa lampau. Dimana saat itu ia tak mengenal kata ‘benci’ pada salah satu dari dua orang ini. Tapi apa daya, ‘waktu’ itu sangat kejam bukan? Ia membuat seorang Donghae yang lugu nan polos bermetamorfosis menjadi anak pembangkang tak tahu diri.
Tak terasa setetes air mata tumpah di pipi kanan Donghae. Sama sekali tak ada keinginan untuk menghapusnya. Ia membiarkan air mata itu tumpah dan semakin lama semakin deras. Ia ingin menumpahkan kekesalannya, kekecewaannya, sakit hatinya. Ingin melampiaskan semua yang mengganjal di hatinya, tapi siapakah Donghae? Ia hanya remaja labil yang memang terlampau bodoh untuk bisa menemukan cara yang baik melampiaskan segalanya.
~~~
“Yoora-ya! Tunggu!” Jisun meneriaki Yoora yang seperti orang panic mencari sesuatu. Ia sdikit berlari menyusul Yoora yang sudah berlari di depannya. Dengan sedikit bingung Sohee, Kibum, Kyuhyun, Eunhyuk, dan Eunra hanya ikut berlari menyusul Jisun yang sama bingungnya.
“Hoh, hosh, hosh… yak! Yoora, kenapa lari tanpa sebab?” tanya Jisun ngos-ngosan setelah mencapai posisi Yoora.
“Aku melihatnya.” Ujar Yoora sambil masih menyapukan pandangannya ke sekeliling terlihat panik.
Jisun justru bertambah bingung. Maksudnya apa yang dilihat Yoora. Ia hanya mengangguk-angguk sok tahu sampai akhirnya membuka mulutnya dan bertanya, “Melihat apa?” tanyanya.
“Oppa. Donghae Oppa. Tadi aku melihatnya berjalan kearah sana.” Kata Yoora sambil menunjuk kearah di depannya. Jisun mencari-carai keberadaan orang yang dimaksud. Tapi karena matanya yang memang agak rabun, meskipun Donghae berdiri beberapa puluh meter darinya pun tak akan jelas dilihatnya.
“Yak! Wae kurae?” Kyuhyun langsung bertanya ketika kelima anak itu berhasil mnyusul Jisun dan Yoora.
“Katanya dia lihat Donghae.” Ujar Jisun sambil menunjuk Yoora yang masih sibuk melihat sekeliling.
“Yakin?” tanya Kibum memastikan.
“Tentu saja! Kau pikir aku buta, huh?” Jawab Yoora agak ketus.
“Aish, ayolah! Katanya kita mau makan malam. Ini sudah jam setengah 8. Nanti kemalaman. Aku sudah lapar tauk!” Eunhyuk yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara.
“Eh, lihat! Itu yang masuk ke taman itu sepertinya Donghae Oppa!” Seru Eunra sambil menunjuk sebuah siluet yang masuk ke gerbang taman di seberang jalan. Seketika semua mata tertuju pada sosok itu. Dengan setengah yakin, mereka menyebrang dan masuk ke gerbang taman. Lampu taman di setiap penjur taman sedikit menambah keterangan di taman ini. Mereka menyapukan pandangan ke setiap sisi taman dan tak ditemukannnya laki-laki itu. Akhirnya dengan sidikit gerak lambat karena memang sudah kelaparan, mereka berjalan keluar taman.
“Umma!!!” suara kecil yang lebih tepat disebut bisikan terdengar di telinga Yoora yang berjalan paling belakang. Merasa kenal dengan suara itu, ia pun memutuskan untuk mencari sumbernya. Dengan perlahan dilangkahkan kakinya menuju asal suara yang dirasanya berasal dari balik pohon. Karena gelap, yang bisa ditangkap oleh penglihatan Yoora hanya sebuah siluet bergerak yang sepertinya sedang dalam posisi duduk. Dengan sedikit keberanian, Yoora menghampiri siluet itu.
“Oppa!” gumam Yoora pelan saat jarak keduanya terpaut hanya ± 1 meter. Entah apa yang meyakininya bahwa Donghaelah sang pemilik siluet. Orang itu bergerak karena terpancing dengan suara Yoora. Ia mendongakkan kepalanya dan matanya tepat menatap pada mata Yoora.
“Yoora?” orang itu bertanya lebih kepada dirinya sendiri. Entah mengapa laki-laki ini sedikit tidak yakin kalau orang dihadapannya ini benar-benar Yoora. Namun mata itu meyakininya. Mata besar yang agak tak lazim bagi orang Korea pada umumnya. Dari banyaknya orang yang ia kenal, hanya Yoora lah yang memiliki mata seperti itu. Dengan tatapan tajam penuh arti yang selalu membuat ia merasakan sensasi kupu-kupu di perutnya.
“Oppa, Donghae Oppa? Sedang apa disini?” tanya Yoora saat dirinya benar-benar yakin bahwa orang ini adalah Donghae.
“Kau sendiri?” tanya Donghae dengan suara serak seraya tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya.
“Eh, sebentar ya, Oppa! Aku kesana sebentar!” Ucap Yoora yang kemudian melenggang pergi dari tempat itu. Dengan sedikit berlari, Ia menuju teman-temannya yang sudah lebih dulu berjalan. Dengan nafas terengah-engah, ia menjelaskan situasi yang terjadi pada Eunhyuk dkk. Meskipun sedikit bingung, mereka tetap saja mengikuti Yoora kembali kearah taman meskipun dengan menahan lapar.
“Mana Donghae?” tanya Eunhyuk setelah sampai di balik pohon. Yoora terlihat kebingungan dengan menghilangnya Donghae. Ia merasa yakin bahwa tadi sangat jelas ia bertemu dengan namja itu, bahkan sempat mengobrol.
“Hey, apa mungkin orang itu Donghae Oppa?” ucap Sohee sambil menunjuk seseorang yang duduk di ayunan di pinggir taman. Semua mata teralih pada objek itu dan tanpa banyak basa-basi mereka segera berderap kearahnya.
“Donghae Hyung!” Kyuhyun berteriak dan hal itu membuat orang itu menoleh. Ia sedikit tersenyum melihat teman-temannya kini berkumpul dan datang padanya.
“Kau sedang ada masalah, Donghae-ya?” kata Jisun sambil menatap Donghae intens.
“Ah, aniyo! Tidak ada!” Donghae mencoba mengelak sambil tersenyum dan sedikit memamerkan cengiran ikannya.
“jangan bohong, Hyung!” Seru Kibum sambil sama menatap Donghae dengan tatapan khawatir.
“Kau tahu sebuah quote… ‘Seorang sahabat tak hanya melihat kesedihan sahabatnya dari tangisan, tapi juga dari senyum palsu yang ia tunjukkan’.” Tambah Kibum bijak.
“Ya! Itu benar! Bahkan hanya dengan melihatmu sekilas kami tahu bahwa kau sedang sedih.” Timpal Eunhyuk sembari mendekat dan merangkul bahu Donghae hangat.
“Mau cerita?” tawar Eunra.
“Apa kalian siap mendengarkan!” Donghae mendongak dan menatap satu persatu temannya yang dibalas dengan anggukan setiap orang.
Akhirnya satu persatu cerita mulai mengalir. Semuanya tentang kegalauan Donghae yang membuatnya tak bisa mengendalikan diri belakangan ini. Sedangkan yang lain hanya bisa diam dan mengangguk-angguk sesekali berkomentar dan memberikan nasehat. Mereka sangat paham, Donghae dari luar memang tampak seperti orang yang kuat dengan gelar ‘preman’ yang menyertainya. Namun berberapa tahun berteman membuat anak-anak ini tahu bahwa Donghae itu sangat rapuh. Ia memang terlihat nakal, pembangkang namun itu hanyalah topeng untuk menutupi dirinya yang sebenarnya. Yang rapuh, yang lemah dan cengeng.
Seiring mengalirnya cerita, airmata Donghae pun menurun dengan derasnya bahkan sesekali terdengar isakan kecil yang menyertai berjalannya cerita. Hal itu membuat Eunhyuk, Sohee, dan Eunra ikut berkaca-kaca. Mereka baru tahu bahwa Donghae setersiksa itu bahkan meski sudah lewat bertahun-tahun dari saat kematian ibunya.
“Aku ingin melenyapkan mereka semua dari hidupku!” Gumamnya pelan seraya mengepalkan tangan pertanda emosinya tengah memuncak.
“Dengan cara apa?” tanya Kyuhyun sambil melipat tangannya. Ia menarik nafas dalam kemudian melanjutkan kata-katanya, “Membunuh mereka semua?”
Donghae hanya mengangkat kedua bahu sebagai symbol dari ketidaktahuannya. “Molla!” lirihnya pelan.
“Kurasa kau sudah membuat rencana masa depanmu…” tutur Kibum kemudian tersenyum sinis, “Di penjara!” tambahnya.
Donghae menunduk dan menggelengkan kepala. Lagi-lagi hanya kata “Molla” yang terlontar dari mulutnya.
“Bukan melenyapkan!” jisun membuka suara kemudian mendekat dan duduk di ayunan samping Donghae yang kosong. Ia mendongak dan menatap langit malam yang bertabur bintang.
“Tapi menerima.” Tambahnya sambil menggoyang-goyangkan ayunan itu pelan.
“Meskipun kau membunuh mereka, kau tidak akan benar-benar melenyapkan mereka dari hidupmu!” Jisun menarik nafas dan mulai mengeluarkan lagi suara seraknya, “Rasa bersalah pasti akan terus menghantuimu! Dan justru penyeselanlah yang akan datang, bukan kepuasan. Yach, kecuali kau seorang psikopat! Tapi kami mengenalmu, Donghae-ya! Dan kau bukanlah orang seperti itu.” Seketika semua pandangan terarah pada Jisun. Dibalik sifatnya yang tomboy, ia adalah sosok yang dewasa dalam berpikir. Terkadang yang dikeluarkan olehnya adalah kata-kata bijak yang tak terduga.
“Cobalah untuk menerima mereka! Karena mereka disini. Hidup di dunia tempat kau hidup, bernafas layaknya kau bernafas, berdiri di tanah yang sama dengan tempatmu berpijak! Bahkan tinggal di rumah yang sama denganmu. Lalu apa? Cobalah menerima semua itu Donghae-ya! Tanpa kau sadari, mereka sudah menjadi bagian dari hidupmu! Sebenci apapun kau pada mereka, kau tak bisa memungkiri hal itu!” tutur Jisun dibarengi dengan senyum mengembang di wajahnya. Ia tak yakin hal itu bisa menyadarkan Donghae, namun setidaknya ia sudah berusaha.
“Something happens for a reason! Selalu ada alasan dari semua yang terjadi. Mungkin tuhan membuat appamu menikah lagi karena suatu alasan yang baik. Bukankah rencana tuhan selalu indah?” tambah Kibum melengkapi kata-kata Jisun. Dan yang lain hanya mengangguk-angguk membenarkan kata-kata dua orang ini.
Donghae sebagai objek hanya tersenyum simpul dan bersyukur dalam hati karena memiliki teman-teman yang selalu bisa menenangkan hatinya. Meskipun pasti akan sangat susah untuk menerima keberadaan Ibu dan saudara tirinya, ia akan mencoba.
“Oppa!” panggil Sohee dengan memberi senyuman tulus untuk sekedar menghibur dan meringankan penderitaan Donghae meskipun tak memberikan perubahan yang berarti pada perasaaan Donghae.
“Jangan ikut bersedih dengan penderitaanku. Cukup akulah yang tersiksa. Maaf sudah membuat kalian ikut galau! Dan terima kasih untuk semua nasehat kalian.” ucap Donghae pelan. Dan itu membuat mereka bertambah simpati pada Donghae.
“Berapa lama kau memendam rasa sakit ini, Oppa?” Eunra membuka suara sambil menahan tangisnya yang terasa sudah diujung tanduk.
“Geumanhae! Jangan dipikirkan. Yang penting sekarang aku sudah lega bisa bercerita pada kalian dan menumpahkan seluruh kerisauanku.” Donghae mencoba menghibur teman-temannya. Namun tak urung kata-kata penghibur itu juga ia tujukan pada dirinya sendiri.
“Gomaweo! Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih sudah mau menjadi temanku! Aku beruntung memiliki teman-teman seperti kalian! Sekali lagi, jeongmal gomaweo, Chingudeul!” Ucap Donghae sambil mengelap sisa-sisa air matanya.
Kemudian ia menatap teman-temannya satu persatu dengan tatapan penuh arti, “Maukah kalian mengabulkan satu permintaanku?”
“Ne? Apa itu?” jawab yang lain kompak.
Donghae nyengir ikan dan sedikit cengengesan, “Aku ingin…”
Komentar
Posting Komentar